Kurs Dolar Singapura Naik Tajam Lagi, Rupiah Sehat?
Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Singapura kembali melesat melawan rupiah pada perdagangan Selasa (14/6/2022), melanjutkan kenaikan sebelumnya. Rupiah sedang mendapat tekanan dari luar dan dalam negeri membuat dolar Singapura terus menanjak.
Pada pukul 10:36 WIB, dolar Singapura diperdagangkan di kisaran Rp 10.587/SG$, melesat 0,61% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Isu resesi yang akan terjadi di Amerika Serikat semakin menguat setelah kembali munculnya inversi yield Treasury membuat rupiah sebagai aset emerging market kurang diuntungkan.
Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.
Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Di tahun ini inversi kembali muncul. Kali ini penyebabnya inflasi yang sangat tinggi, serta bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga.
Sementara itu dari dalam negeri, kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) kembali melonjak hingga dua kali lipat. Hal ini terjadi akibat penyebaran varian baru subvarian Omicron BA.4 dan BA.5.
Kenaikan kasus tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga satu bulan ke depan.
"Pengamatan kami ini gelombang BA.4, BA.5 itu biasanya puncaknya tercapai satu bulan setelah penemuan kasus pertama. Jadi harusnya di minggu kedua Juli, minggu ketiga Juli, kita akan melihat puncak kasus BA.4 dan BA.5 ini," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Budi mengatakan, tingkat penularan BA.4 dan BA.5 diperkirakan hanya sepertiga dari puncak kasus Delta dan Omicron. Pada saat itu, kasus harian akibat varian Delta mencapai 56 ribu, sementara Omicron mencapai 64 ribu per hari.
"Kasus hospitalisasi juga sepertiga dari kasus Delta dan Omicron, sedangkan kasus kematian sepersepuluh dari Delta dan Omicron," jelasnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)