
Bursa Asia Kolaps, Hang Seng-KOSPI Ambruk 3%

Jakarta, CNBC Indonesia - Koreksi bursa Asia-Pasifik terpantau makin parah pada perdagangan Senin (13/6/2022) siang waktu Indonesia, karena investor cenderung merespons negatif dari kembali tingginya inflasi di Amerika Serikat (AS) pada bulan lalu.
Pada pukul 12:15 WIB, indeks Hang Seng Hong Kong dan KOSPI Korea Selatan ambruk lebih dari 3%, di mana Hang Seng ambruk 3,21% ke 21.105,77 dan KOSPI anjlok 3,26% ke 2.511,29.
Sedangkan indeks Nikkei Jepang ambles 2,98% ke 26.993,77, Shanghai Composite China ambrol 1,07% ke 3.249,69, dan Straits Times Singapura merosot 0,76% ke posisi 3.157,56.
Sementara untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup tergelincir 1,99% ke posisi 6.945,4 pada perdagangan sesi I hari ini.
Adapun untuk indeks ASX 200 Australia pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur nasional.
Saham-saham teknologi di kawasan tersebut pun berjatuhan. Di Korea Selatan, saham Samsung Electronics ambles 2,51%, sedangkan saham Kakao ambruk 4,74%. Sementara di Hong Kong, saham Tencent ambruk, 4,59%, kemudian saham Alibaba anjlok 5,94%.
Koreksi bursa Asia-Pasifik yang semakin parah terjadi setelah bursa saham AS, Wall Street kembali ambruk pada perdagangan akhir pekan lalu, karena investor cenderung merespons negatif dari meningginya kembali inflasi di AS pada bulan lalu.
Pada Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,73%, S&P 500 amblas 2,91, dan Nasdaq Composite anjlok 3,52%.
Tekanan jual terjadi akibat rilis data inflasi terbaru. Pada Mei 2022, inflasi Negeri Paman Sam tercatat 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1981.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm) inflasi Negeri Paman Sam naik 1% dan inflasi inti 0,6% (mtm).
"Laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir lebih 'panas' dari perkiraan. Sepertinya ini menjadi pengingat bahwa inflasi masih akan terus bersama kita dalam waktu yang lebih lama," kata Michael Sheldon, Chief Investment Officer di RDM Financial Group yang berbasis di Connecticut, seperti dikutip dari Reuters.
Harga energi berkontribusi besar terhadap kenaikan inflasi. Sepanjang Mei harga energi naik 3,9% dari bulan sebelumnya. Sementara dibandingkan Mei 2021, harga energi melonjak hingga lebih dari 34%.
Dengan harga minyak mentah yang masih tinggi saat ini, ada kekhawatiran inflasi masih akan terus meninggi. Ketika inflasi akan terus menanjak, maka konsumsi rumah tangga, salah satu tulang punggung perekonomian, berisiko terpukul.
Sementara itu dari pasar obligasi pemerintah AS (US Treasury), pada jam perdagangan Asia, yield Treasury tenor 10 tahun naik menjadi 3,1912%, sedangkan yield Treasury tenor 2 tahun melonjak menjadi 3,168%.
Sejatinya, pelaku pasar memperkirakan bahwa inflasi Negeri Paman Sam pada bulan lalu berpotensi kembali melandai, terlihat dari melandainya inflasi AS pada periode April lalu. Pasar berekspektasi bahwa inflasi pada Maret lalu diklaim menjadi puncaknya. Tetapi nyatanya, prediksi pasar tersebut pun meleset.
Data inflasi terbaru membuat pasar makin yakin bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif.
Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Bahkan, kenaikan 75 bp ke 1,5%-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
