Hantu Inflasi AS Datang Lagi, Bursa Asia Dibuka Berjatuhan!

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Senin, 13/06/2022 08:53 WIB
Foto: Bursa Jepang (Nikkei). (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka terkoreksi pada perdagangan Senin (13/6/2022), di tengah meningginya lagi inflasi di Amerika Serikat (AS) yang membuat investor kembali khawatir bahwa potensi resesi semakin besar.

Indeks Hang Seng Hong Kong dan KOSPI Korea Selatan dibuka ambruk lebih dari 2%, di mana Hang Seng dibuka ambruk 2,99% dan KOSPI ambles 2,01%. Sedangkan indeks Nikkei Jepang dibuka ambles 1,64% dan Straits Times Singapura melemah 0,62%.

Sementara untuk indeks ASX 200 Australia pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur nasional.


Bursa Asia-Pasifik yang cenderung ambles pada hari ini terjadi di tengah ambruknya lagi bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu.

Pada Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,73% ke 31.392,789, S&P 500 ambles 2,91% ke 3.900,86, dan Nasdaq Composite anjlok 3,52% ke 11.340,02.

Tekanan jual terjadi akibat rilis data inflasi terbaru. Pada Mei 2022, inflasi Negeri Paman Sam tercatat 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1981.

Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm) inflasi Negeri Paman Sam naik 1% dan inflasi inti 0,6% (mtm).

"Laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir lebih 'panas' dari perkiraan. Sepertinya ini menjadi pengingat bahwa inflasi masih akan terus bersama kita dalam waktu yang lebih lama," kata Michael Sheldon, Chief Investment Officer di RDM Financial Group yang berbasis di Connecticut, seperti dikutip dari Reuters.

Harga energi berkontribusi besar terhadap kenaikan inflasi. Sepanjang Mei harga energi naik 3,9% dari bulan sebelumnya. Sementara dibandingkan Mei 2021, harga energi melonjak hingga lebih dari 34%.

Dengan harga minyak mentah yang masih tinggi saat ini, ada kekhawatiran inflasi masih akan terus meninggi. Ketika inflasi akan terus menanjak, maka konsumsi rumah tangga, salah satu tulang punggung perekonomian, berisiko terpukul.

Data inflasi terbaru membuat pasar makin yakin bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif.

Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Bahkan, kenaikan 75 bp ke 1,5-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.

Biasanya, ketika suku bunga acuan naik, maka imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) akan ikut menguat. Pada Jumat pekan lalu, yield Treasury jangka pendek dan menengah menyentuh titik tertinggi dalam lebih dari satu dekade setelah rilis inflasi AS di Mei.

Yield Treasury tenor 2 tahun yang sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga, melonjak ke 3,057%, tertinggi sejak Juni 2008. Sementara itu, yield Treasury tenor 10 tahun yang biasa menjadi acuan investor, juga naik ke 3,164% dan menjadi posisi tertinggi sejak 6 Mei.

Jika yield Treasury makin menanjak, maka hal ini dapat menjadi daya tarik investor karena yield-nya sudah cenderung lebih tinggi dan mereka akan cenderung beralih dari pasar saham ke pasar obligasi pemerintah AS.

Apalagi, kondisi global yang belum menentu bahkan adanya potensi resesi semakin memperkuat bahwa pasar obligasi pemerintah AS semakin menarik.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bursa Asia Anjlok Usai Trump Umumkan Tarif Impor Jepang-Korsel