Alert! Resesi Bisa Terjadi di Semester Pertama 2023

Tim Riset, CNBC Indonesia
Jumat, 10/06/2022 16:00 WIB
Foto: Ilustrasi Resesi (Photo by MART/Pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom dan analis Wall Street ramai-ramai memperjelas posisinya atas kondisi inflasi dan respons kebijakan moneter Federal Reserve, dengan mayoritas sepakat bahwa ekonomi dan pasar modal akan semakin memburuk sebelum kembali rebound. Hal ini diamini oleh banyak direktur keuangan di perusahaan-perusahaan top, menurut hasil survei terbaru dari CNBC CFO Council.

Lebih dari 40% direktur keuangan (chief financial officer/CFO) menyebutkan inflasi sebagai risiko eksternal nomor satu untuk bisnis mereka dengan nyaris seperempat (23%) CFO menyebut kebijakan Federal Reserve sebagai faktor risiko terbesar. Selain itu, sejumlah CFO (14%) juga menyebutkan gangguan rantai pasokan merupakan masalah utama.

Adapun risiko bisnis terbesar saat ini menurut para CFO adalah perang Ukraina-Rusia. Hal tersebut membuat harga BBM dan makanan melonjak di AS, dengan pemerintahan Biden berjuang mencari cara untuk meningkatkan pasokan minyak dan pasokan makanan, seperti gandung dari Ukraina, di tengah kekhawatiran tentang krisis pangan global.


Terkait kemampuan The Fed mengendalikan inflasi, pandangan CFO terbelah. Unggul tipis atau 54% CFO menyatakan kepercayaan pada bank sentral. Meski demikian, itu masih belum cukup untuk mengubah pandangan mereka tentang arah kondisi ekonomi yang sedang berjalan ke jurang resesi.

Seluruh CFO yang disurvei percaya bahwa ekonomi AS tidak dapat dari resesi, dengan lebih dari dua pertiga (68%) CFO yang menanggapi survei memperkirakan resesi akan terjadi selama paruh pertama tahun 2023. Sementara itu, sejumlah CFO lain memperkirakan resesi paling telat akan terjadi di paruh kedua tahun depan.

Survei CNBC CFO Council Q2 menggambarkan pandangan saat ini di antara pejabat keuangan di perusahaan top. Survei dilakukan terhadap 22 kepala CFO di organisasi besar antara 12 Mei hingga 6 Juni.

Surat utang Treasury 10-tahun, yang telah berlipat ganda tahun ini menjadi sekitar 3%, diperkirakan akan mendekati level 4% pada akhir tahun 2022, menurut 41% CFO. Persentase yang sama dari CFO mengharapkan surat utang tersebut naik menjadi tidak lebih tinggi dari 3,49% pada akhir tahun. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran tentang tingkat kenaikan yang lebih cepat, dengan sebagian kecil CFO memperkirakan Treasury 10-tahun dapat naik di atas 4% pada akhir tahun.

Bank Sentral Eropa pada hari Kamis (9/6) mengatakan akan menaikkan suku untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade karena ancaman inflasi meningkat secara signifikan.

Prospek pertumbuhan ekonomi AS dan ekonomi global juga semakin suram. The Fed Atlanta lewat GDPNow yang melacak perkiraan terbaru untuk pertumbuhan ekonomi menyampaikan revisi negatif yang dikeluarkan minggu ini. Perubahan tersebut mengindikasikan ekonomi dapat menuju kuartal kedua berturut-turut pertumbuhan negatif, yang memenuhi definisi resesi yang diterima secara klasik.

Bank Dunia baru saja memangkas prospek pertumbuhan globalnya, memperingatkan bahwa periode stagflasi seperti tahun 1970-an mungkin terjadi. Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan, "Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari." Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga memangkas prediksi pertumbuhan global tahun ini.

Prospek ekonomi, dengan peningkatan inflasi dan kenaikan suku bunga, ikut merembes ke pasar modal yang diperkirakan akan lebih rendah, menurut pandangan CFO yang disurvei.

Mayoritas (77%) CFO memperkirakan Dow Jones Industrial Average turun di bawah 30.000 atau mewakili penurunan 18% dari level tertinggi 2022. Di pasar di mana setiap reboudn mungkin hanya 'ilusi sesaat', lebih dari setengah (55%) CFO mengatakan bahwa energi tetap memimpin dan akan menunjukkan pertumbuhan paling tinggi di antara semua sektor ekonomi hingga akhir tahun ini.

Dalam sebuah wawancara dengan "Squawk Box" CNBC awal pekan ini, Ekonom kenamaan Mohamed El-Erian mengatakan bahwa siapa pun yang berinvestasi penuh harus "mengambil beberapa chip dari atas meja."

Rabu (8/6) lalu, CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon mengeluarkan peringatan tentang ekonomi dan berkata "bersiaplah."

Foto: Ilustrasi Resesi (Photo by MART/Pexels)
Ilustrasi Resesi (Photo by MART/Pexels)

Di luar hambatan dan risiko jangka pendek yang menggunung, setidaknya terdapat satu pandangan positif dari sejumlah CFO perusahaan. Hal tersebut adalah terkait pengeluaran dan perekrutan karyawan baru.

Meskipun banyak berita utama dari sektor teknologi terkait penghematan, memperlambat atau penghentian sementara perekrutan karyawan baru, dan bahkan ada yang menarik kembali tawaran pekerjaan saat ini, CFO perusahaan yang disurvei tidak mengemukakan pandangan serupa.

Hasil survei menunjukkan bahwa jumlah CFO yang mengatakan mereka akan meningkatkan pengeluaran mereka selama tahun depan (36%), dua kali lebih banyak yang menyebut akan menurunkan (18%). Sementara itu, hampir setengah (46%) CFO mengatakan mereka akan mempertahankan tingkat pengeluaran saat ini.

Selain itu mereka juga berpandangan bahwa perusahaan masih dalam mode perekrutan, dengan lebih dari setengah (54%) mengatakan jumlah karyawan akan meningkat dalam selama 12 bulan ke depan. Hanya 18% yang mengantisipasi penurunan staf.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Saat Perang Berkobar, Saham & Investasi Mana Yang Bisa Cuan?