
Duh! Rupiah Nyaris Tembus Rp 14.500/US$, Ada Apa?

Selain itu, pasar kini menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) pekan depa, di tengah adanya ekspektasi inflasi di Amerika Serikat sudah mencapai puncak.
Ketika inflasi mencapai puncak dan mulai menurun, bank sentral AS (The Fed) kemungkinan tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga.
"Pasar sudah menakar The Fed akan melakukan semua yang dikatakan, tetapi melihat pernyataan tersebut pasar mulai melihat inflasi sudah mencapai puncak dan akan melandai," kata Thomas Martin, portfolio manajer senior di Global Investments di Atlanta, sebagaimana dilansir Reuters.
The Fed hampir pasti akan menaikkan suku bunga 50 basis poin lagi pekan depan menjadi 1,25% - 1,5%. Namun, pelaku pasar saat ini menanti kejelasan apakah The Fed masih akan agresif di sisa tahun ini, atau ada peluang kenaikan suku bunga akan ditunda, dan melihat terlihat dahulu dampaknya terhadap inflasi dan pasar tenaga kerja.
Hal tersebut membuat dolar AS masih cukup kuat, meski tidak bisa melesat seperti bulan lalu.
Bahkan, indeks dolar AS sempat jeblok 2 pekan beruntun sebelum kembali bangkit pada pekan lalu. Kemerosotan dolar AS tersebut terjadi setelah rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed edisi Mei yang menunjukkan beberapa pejabat melihat jika suku bunga segera dinaikkan, maka di sisa tahun ini The Fed akan berada di posisi yang bagus untuk menilai efek dari kenaikan suku bunga tersebut.
Notula tersebut juga menunjukkan para pembuat kebijakan sepakat akan menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Juni dan Juli.
Setelahnya, ada peluang periode kenaikan suku bunga akan dihentikan sementara.
Ahli strategi dari bank investasi JP Morgan juga melihat peluang The Fed tidak akan agresif, meski dikatakan bukan skenario yang utama.
"Itu bukan skenario dasar tim ekonomi kami, tetapi kami pikir ada peluang The Fed akan mengerek suku bunga hingga 1,75% - 2% yang merupakan kebijakan normal dan memberi peluang untuk menghentikan sementara kenaikan suku bunga dan menilai terlebih dahulu dampak kebijakannya terhadap pasar tenaga kerja dan inflasi," kata ahli strategi JP Morgan, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
