Duh! Rupiah Nyaris Tembus Rp 14.500/US$, Ada Apa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 June 2022 15:03
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah belum mampu menunjukkan tajinya melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pekan ini. Hingga perdagangan Rabu (8/6/2022) rupiah melemah 3 hari beruntun, bahkan nyaris menembus Rp 14.500/US$.

Di awal perdagangan hari ini, rupiah sebenarnya sempat menguat 0,03% ke Rp 14.445/US$, tetapi tidak lama malah berbalik melemah dan tertahan di zona merah sepanjang perdagangan.

Depresiasi rupiah sempat terakselerasi hingga 0,28% ke Rp 14.495/US$, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.490/US$, atau melemah 0,25% di pasar spot.

Dari dalam negeri, cadangan devisa (cadev) Indonesia turun tipis sepanjang bulan Mei, padahal sebelumnya ada kekhawatiran akan tergerus lebih dalam. Sebabnya, Pada bulan lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya, yang merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar.

Bank Indonesia (BI) pada Rabu melaporkan cadangan devisa bulan pada akhir Mei sebesar US$ 135,6 miliar, turun US$ 100 juta dibandingkan bulan sebelumnya.

"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2022 tetap tinggi sebesar 135,6 miliar dolar AS, relatif stabil dibandingkan dengan posisi pada akhir April 2022 sebesar 135,7 miliar dolar AS. Perkembangan posisi cadangan devisa pada Mei 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan devisa migas, pajak dan jasa, serta kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah," sebut keterangan tertulis BI.

Meski berada di level terendah sejak November 2020 lalu, tetapi posisi cadangan devisa tersebut, setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Di bulan April lalu, jeblok hingga US$ 3,4 miliar dari bulan sebelumnya, dan dikhawatirkan hal yang sama akan terjadi di bulan Mei, sebab ada larangan ekspor CPO dan turunannya.

CPO yang termasuk dalam ekspor HS 15 (lemak dan minyak hewani/nabati) merupakan salah satu penopang neraca perdagangan Indonesia hingga mampu mencetak surplus dalam 23 bulan beruntun. Kontribusinya terhadap total ekspor menjadi yang terbesar kedua setelah HS 27 (bahan bakar mineral) yakni batu bara.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor HS 15 sepanjang kuartal I-2022 mencapai US$ 7,9 miliar mengalami kenaikan lebih dari 13% dari periode yang sama tahun lalu.

Setiap bulannya ekspor CPO dan produk turunannya tersebut berada di kisaran US$ 2,5 miliar - US$ 3 miliar.

Nilai tersebut sebagian besar akan lenyap akibat larangan ekspor CPO, sehingga devisa bisa menjadi seret. Pasalnya, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan melarang ekspor CPO sejak 28 April hingga 23 Mei lalu, guna memastikan ketersediaan dan menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.

Namun sayangnya, meski turun tipis, rilis data cadangan devisa tersebut belum mampu mendongkrak kinerja rupiah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasar Tunggu Kejelasan Suku Bunga The Fed

Selain itu, pasar kini menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) pekan depa, di tengah adanya ekspektasi inflasi di Amerika Serikat sudah mencapai puncak.

Ketika inflasi mencapai puncak dan mulai menurun, bank sentral AS (The Fed) kemungkinan tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga.

"Pasar sudah menakar The Fed akan melakukan semua yang dikatakan, tetapi melihat pernyataan tersebut pasar mulai melihat inflasi sudah mencapai puncak dan akan melandai," kata Thomas Martin, portfolio manajer senior di Global Investments di Atlanta, sebagaimana dilansir Reuters.

The Fed hampir pasti akan menaikkan suku bunga 50 basis poin lagi pekan depan menjadi 1,25% - 1,5%. Namun, pelaku pasar saat ini menanti kejelasan apakah The Fed masih akan agresif di sisa tahun ini, atau ada peluang kenaikan suku bunga akan ditunda, dan melihat terlihat dahulu dampaknya terhadap inflasi dan pasar tenaga kerja.
Hal tersebut membuat dolar AS masih cukup kuat, meski tidak bisa melesat seperti bulan lalu.

Bahkan, indeks dolar AS sempat jeblok 2 pekan beruntun sebelum kembali bangkit pada pekan lalu. Kemerosotan dolar AS tersebut terjadi setelah rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed edisi Mei yang menunjukkan beberapa pejabat melihat jika suku bunga segera dinaikkan, maka di sisa tahun ini The Fed akan berada di posisi yang bagus untuk menilai efek dari kenaikan suku bunga tersebut.

Notula tersebut juga menunjukkan para pembuat kebijakan sepakat akan menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Juni dan Juli.

Setelahnya, ada peluang periode kenaikan suku bunga akan dihentikan sementara.

Ahli strategi dari bank investasi JP Morgan juga melihat peluang The Fed tidak akan agresif, meski dikatakan bukan skenario yang utama.

"Itu bukan skenario dasar tim ekonomi kami, tetapi kami pikir ada peluang The Fed akan mengerek suku bunga hingga 1,75% - 2% yang merupakan kebijakan normal dan memberi peluang untuk menghentikan sementara kenaikan suku bunga dan menilai terlebih dahulu dampak kebijakannya terhadap pasar tenaga kerja dan inflasi," kata ahli strategi JP Morgan, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular