Cadev RI Turun Tipis, Strategi Jokowi Stop Ekspor CPO Jitu!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 June 2022 12:50
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (cadev) Indonesia turun tipis sepanjang bulan Mei, padahal sebelumnya ada kekhawatiran akan tergerus lebih dalam. Sebabnya, Pada bulan lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya, yang merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar.

Bank Indonesia (BI) pada Rabu melaporkan cadangan devisa bulan pada akhir Mei sebesar US$ 135,6 miliar, turun US$ 100 juta dibandingkan bulan sebelumnya.

"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2022 tetap tinggi sebesar 135,6 miliar dolar AS, relatif stabil dibandingkan dengan posisi pada akhir April 2022 sebesar 135,7 miliar dolar AS. Perkembangan posisi cadangan devisa pada Mei 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan devisa migas, pajak dan jasa, serta kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah," sebut keterangan tertulis BI.

Meski berada di level terendah sejak November 2020 lalu, tetapi posisi cadangan devisa tersebut, setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Di bulan April lalu, jeblok hingga US$ 3,4 miliar dari bulan sebelumnya, dan dikhawatirkan hal yang sama akan terjadi di bulan Mei, sebab ada larangan ekspor CPO dan turunannya.

CPO yang termasuk dalam ekspor HS 15 (lemak dan minyak hewani/nabati) merupakan salah satu penopang neraca perdagangan Indonesia hingga mampu mencetak surplus dalam 23 bulan beruntun. Kontribusinya terhadap total ekspor menjadi yang terbesar kedua setelah HS 27 (bahan bakar mineral) yakni batu bara.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor HS 15 sepanjang kuartal I-2022 mencapai US$ 7,9 miliar mengalami kenaikan lebih dari 13% dari periode yang sama tahun lalu.

Setiap bulannya ekspor CPO dan produk turunannya tersebut berada di kisaran US$ 2,5 miliar - US$ 3 miliar.

Nilai tersebut sebagian besar akan lenyap akibat larangan ekspor CPO, sehingga devisa bisa menjadi seret. Pasalnya, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan melarang ekspor CPO sejak 28 April hingga 23 Mei lalu, guna memastikan ketersediaan dan menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.

Seandainya larangan ekspor tersebut tidak ada cadangan devisa RI tentunya bisa meroket lagi di bulan Mei. Tetapi, penurunan tipis yang terjadi juga patut disyukuri, apalagi kebijakan tersebut sukses menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.

Sebelum larangan ekspor CPO diberlakukan, rata-rata harga minyak goreng kemasan bermerek I Rp 27.050/kg, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategus (PIHPS) Nasional. Selasa kemarin, harganya berada di Rp 26.450/kg.

Selain itu, pemerintah juga menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kilogram di seluruh Indonesia. Data dari PIHPS Nasional menunjukkan rata-rata harga minyak goreng curah masih Rp 18.200/kg Selasa kemarin, dengan harga termurah Rp 13.700/kg di Kota Singkawang, sementara yang termahal Rp 30.000/kg di Kabupaten Merauke.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Jeblok, Tapi Tekanan Eksternal Tidak Besar?

Bulan lalu, rupiah sebarnya sempat terpuruk hingga menyentuh Rp 14.736/US$ yang merupakan level terlemah dalam satu setengah tahun terakhir. Salah satu pemicunya yakni pelarangan ekspor CPO.

Kinerja rupiah di bulan Mei baru membaik setelah pemerintah kembali membuka keran ekspor minyak sawit mentah dan turunannya.

Meski rupiah terpuruk, tetapi Bank Indonesia sepertinya melepas rupiah dan tidak banyak melakukan intervensi. Hal ini dilihat dari penurunan cadangan devisa yang tipis di bulan Mei.

Artinya, tekanan bagi rupiah mungkin tidak terlalu besar meski bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunga di tahun ini.

Pekan depan, The Fed akan menaikkan suku bunga lagi, hampir pasti sebesar 50 basis poin ke menjadi 1,25% - 1,5%. Dan di akhir tahun nanti, suku bunga diperkirakan mencapai 2,75% - 3%, atau naik 200 basis poin lagi dari level saat ini.

Di sisi lain, BI masih enggan menaikkan suku bunga. Hal ini bisa menjadi indikasi BI melihat tekanan eksternal bagi rupiah tidak terlalu besar.

Dalam pengumuman kebijakan moneter bulan lalu Gubernur BI Perry Warjiyo menyiratkan tidak perlu merespon dengan ikut menaikkan suku bunga.

"Kalau mengukur kebijakan moneter jangan hanya mengukur suku bunga. Kebijakan moneter Bank Indonesia yakni likuiditas, kita lakukan pengurangan, kemudian nilai tukar dan yang ketiga suku bunga," kata Perry.

Perry juga menyatakan pengaruh kebijakan The Fed ke Indonesia melalui kenaikan yield obligasi AS (Treasury) yang berdampak ke yield Surat Berharga Negara (SBN). Namun, menurut Perry kenaikan yield obligasi pemerintah AS tidak selalu berdampak simetris, sebab ada faktor lain yang mempengaruhi yakni pola pembiayaan fiskal pemerintah dan preferensi investor dalam negeri yang bisa menerima yield lebih rendah ketimbang investor asing.

Perry menegaskan normalisasi kebijakan Indonesia terlebih dahulu dilakukan dengan normalisasi likuiditas dengan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM).

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular