
Rupiah Melesat di Awal Perdagangan, Tapi Tak Tahan Lama!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Kamis (2/6/2022), meski aktivitas sektor manufaktur Indonesia yang melambat. Pelaku pasar kini menanti rilis data inflasi dari dalam negeri.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,17% ke Rp 14.555/US$. Apresiasi tersebut sedikit terpangkas hingga stagnan di Rp 14.580/US$ pada pukul 9:07 WIB.
S&P Global mencatat aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada Mei 2022 ada di 50,8. Skor di atas 50 menandakan masih terjadi ekspansi. PMI manufaktur Indonesia sudah sembilan bulan beruntun berada di atas 50.
Akan tetapi, ekspansi itu sepertinya melambat. Sebab bulan sebelumnya PMI manufaktur tercatat 51,9.
"Produksi manufaktur turun untuk kali pertama dalam sembilan bulan pada Mei, meski pada laju fraksional. Anggota panel sering menyebutkan bahwa penurunan disebabkan oleh gangguan pasokan. Sementara itu, menurut panelis, permintaan baru secara keseluruhan mengalami ekspansi tingkat sedang, dengan kondisi permintaan yang relatif kuat dan pemenangan klien baru mendorong kenaikan terkini," sebut keterangan tertulis S&P Global.
Selain itu, pelaku pasar kini menanti rilis data inflasi Indonesia. Secara month-to-month (mtm), inflasi Mei diperkirakan 0,41%.
Namun, inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) diperkirakan 3,55% (yoy), berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 institusi.
Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Januari 2017 atau dalam lima tahun terakhir di mana pada saat itu inflasi tercatat 3,61%.
Meski masih menanjak tetapi jika dilihat pertumbuhan month-to-month melandai dari sebelumnya 0,95%.
Tanda-tanda inflasi yang melandai juga bisa memberikan sentimen positif ke pasar finansial. Sebab, tekanan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga menjadi lebih kecil. Dengan suku bunga acuan di tahan di rekor terendah 3,5%, tentunya akan membantu pertumbuhan ekonomi.
BI sendiri optimis inflasi di tahun ini masih akan terkendali, meski akan sedikit di atas 4%, dan di tahun depan akan kembali ke bawahnya.
Di sisi lain, penurunan dolar AS yang terjadi belakangan ini diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Dalam dua pekan sebelumnya, indeks dolar AS jeblok sekitar 3%, dan perlahan mulai bangkit di pekan ini.
Hasil survei yang dilakukan Reuters menunjukkan sebanyak 28 dari 44 analis memperkirakan penurunan dolar AS tersebut hanya berlangsung selama 3 bulan saja. Di antara 28 analis tersebut, 16 orang memperkirakan tekanan bagi dolar AS hanya akan berlangsung hingga akhir Juni.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
