Current Account Surplus, Dolar Australia Dekati Rp 10.500

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Selasa, 31/05/2022 12:35 WIB
Foto: Dolar Australia (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia menguat lagi melawan rupiah pada perdagangan Selasa (31/5/2022) hingga mendekati level Rp 10.500/AU$. Transaksi berjalan (current account) Australia yang kembali mencatat surplus di kuartal I-2022 membuat mata uangnya menguat lagi.

Melansir data Refinitiv, dolar Australia siang ini menyentuh Rp 10.492/AU, menguat 0,16% di pasar spot. Padahal, pagi tadi sempat jeblok 0,5%.

Dolar Australia berbalik menguat setelah Biro Statistik Australia (ABS) melaporkan transaksi berjalan di kuartal I-2022 surplus sebesar AU$ 7,53 miliar. Surplus tersebut turun sekitar AU$ 5,7 miliar dari periode Oktober - Desember 2021, tetapi sudah mencatat surplus dalam 12 kuartal beruntun.


Menurut ABS, surplus beruntun tersebut menjadi yang terpanjang sejak tahun 1970an.

Data lain yang dirilis hari ini menunjukkan laba kotor korporasi di Australia meroket 10,2% di kuartal I-2022. Kenaikan tersebut jauh lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 4%. Dengan demikian, laba kotor korporasi sudah mencatat kenaikan dalam 4 kuartal beruntun.

Kenaikan laba korporasi tersebut bisa menjadi indikasi kuatnya pasar tenaga kerja serta kenaikan tingkat upah.

Data ekonomi tersebut mampu menopang penguatan dolar Australia melawan rupiah, yang memang belakangan ini terus mengalami kenaikan. Padahal pada 12 Mei lalu nilainya sempat turun ke bawah Rp 10.000/AU$. Dari posisi tersebut hingga hari ini, dolar Australia sudah naik sekitar 5%.

Bank sentral Australia (Reserve bank of Australia/RBA) yang tidak lagi memberika tertekan, membuat mata uangnya terus menanjak. Saat pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, RBA menerapkan kebijakan pembelian obligasi (quantitative easing/QE) pertama dalam sejarah. Total nilainya mencapai AU$ 280 miliar.

Asisten gubernur RBA, Christopher Kent di awal pekan ini mengatakan kebijakan tersebut membuat yield obligasi turun sekitar 0,3 persen poin, yang berkontribusi terhadap pelemahan dolar Australia.

Kebijakan tersebut membuat nilai neraca RBA menjadi AU$ 600 miliar, dan Kent mengatakan obligasi yang dimiliki akan dilepas secara bertahap karena jatuh tempo dalam beberapa tahun mendatang.

"Dengan membiarkan kepemilikan obligasi berkurang secara bertahap seiring berjalannya waktu saat jatuh tempo, efek dari kepemilikan tersebut, yaitu tekanan bagi yield dan nilai tukar dolar Australia akan berkurang secara bertahap," kata Kent sebagaimana dilansir Australia Financial Review, Senin (23/5/2022)

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor