
Rupiah Lagi Kuat, Tapi Tak Sanggup Libas Dolar Australia

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sedang kuat di perdagangan awal pekan ini. Dolar Amerika Serikat (AS) dan Singapura dibuat melemah cukup tajam, tetapi melawan dolar Australia rupiah justru melemah.
Pada perdagangan Senin (30/5/2022) pukul 13:31 WIB, dolar Australia diperdagangkan di kisaran 10.453/AU$, menguat 0,17% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Dolar Australia mampu menguat lagi belakangan ini setelah sebelumnya nyaris ke bawah Rp 10.000/AU$.
Rupiah mulai kembali perkasa setelah pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) Selasa pekan lalu. Rupiah sudah mencatat penguatan 3 hari beruntun melawan dolar AS, dan bisa diperpanjang lagi hari ini.
Pada pengumuman kebijakan moneter pekan lalu, BI mempercepat laju kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) serta menambah persentasenya. Untuk Bank Umum Konvensional (BUK), GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.
Untuk Bank Umum Syariah (BUS) yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.
Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun, tetapi tidak mengurangi kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit. Artinya momentum pertumbuhan ekonomi masih akan terjaga.
"Secara keseluruhan ini memang dengan kenaikan GWM ini akan mengurangi likuiditas di perbankan sekitar Rp 110 triliun, namun rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi sekira 28% sampai akhir tahun ini, masih jauh di atas rasio sebelum pandemi Covid yang sebesar 21%," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Selasa (24/5/2022).
Penyerapan likuiditas tersebut diharapkan mampu membuat rupiah lebih stabil.
Di sisi lain, bank sentral Australia (Reserve bank of Australia/RBA) tidak lagi membuatnya tertekan ke mata uangnya. Saat pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, RBA menerapkan kebijakan pembelian obligasi (quantitative easing/QE) pertama dalam sejarah. Total nilainya mencapai AU$ 280 miliar.
Asisten gubernur RBA, Christopher Kent di awal pekan ini mengatakan kebijakan tersebut membuat yield obligasi turun sekitar 0,3 persen poin, yang berkontribusi terhadap pelemahan dolar Australia.
Kebijakan tersebut membuat nilai neraca RBA menjadi AU$ 600 miliar, dan Kent mengatakan obligasi yang dimiliki akan dilepas secara bertahap karena jatuh tempo dalam beberapa tahun mendatang.
"Dengan membiarkan kepemilikan obligasi berkurang secara bertahap seiring berjalannya waktu saat jatuh tempo, efek dari kepemilikan tersebut, yaitu tekanan bagi yield dan nilai tukar dolar Australia akan berkurang secara bertahap," kata Kent sebagaimana dilansir Australia Financial Review, Senin (23/5/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Australia Tak Mampu Tembus Rp 10.700/AU$, Ada Apa?
