
Gasak Dolar AS, Rupiah Melesat ke Bawah Rp 14.600/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) semakin terpuruk, indeksnya terus merosot setelah pertengahan Mei lalu menyentuh level tertinggi dalam dua dekade terakhir. Alhasil rupiah sukses mencatat penguatan beruntun Rabu lalu, menjadi yang pertama sejak pertengahan April.
Pada pembukaan perdagangan Jumat (27/5/2022) rupiah langsung melesat 0,27% ke Rp 14.590/US$, melansir data Refinitiv. Rupiah kini berpeluang mencatat penguatan 3 hari beruntun.
Tanda-tanda rupiah bakal ke bawah Rp 14.600/US$ sudah terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat pagi ini ketimbang beberapa saat sebelum penutupan perdagangan Rabu.
Periode | Kurs Rabu (25/5) pukul 15:58 WIB | Kurs Jumat (27/5) pukul 8:57 WIB |
1 Pekan | Rp14.602,0 | Rp14.574,5 |
1 Bulan | Rp14.616,0 | Rp14.570,0 |
2 Bulan | Rp14.638,0 | Rp14.599,0 |
3 Bulan | Rp14.664,0 | Rp14.612,0 |
6 Bulan | Rp14.752,0 | Rp14.694,0 |
9 Bulan | Rp14.850,6 | Rp14.788,0 |
1 Tahun | Rp15.005,0 | Rp14.935,0 |
2 Tahun | Rp15.397,0 | Rp15.327,0 |
Indeks dolar AS pada perdagangan Kamis kembali turun 0,22%, dan pagi ini turun lagi 0,33% ke 101,503 yang menjadi level terendah dalam satu bulan terakhir.
Dolar AS kini makin jauh dari level tertinggi dua dekade di 105 yang dicapai 13 Mei lalu.
Penurunan tersebut terjadi pasca rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed).
Dalam notula tersebut terungkap para pejabat The Fed sepakat untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Juli dan Juli. Mereka melihat jika suku bunga segera dinaikkan, maka di sisa tahun ini The Fed akan berada di posisi yang bagus untuk menilai efek dari kenaikan suku bunga tersebut.
Pasar melihat masih adanya kemungkinan The Fed tidak akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunganya.
"Pasar mulai sedikit optimistis The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga, dan beberapa aksi jual yang melanda aset berisiko, khususnya saham, mungkin telah berakhir. Hal itu memicu sedikit reli aset berisiko yang berdampak buruk bagi dolar AS," kata Ed Moya, analis senior di Oanda, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).
Pasca rilis notula tersebut, pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed berada 2,5% - 2,75%. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitasnya sebesar 57,7%, padahal pada pekan lalu ekspektasi suku bunga di 2,75% - 3% menjadi yang tertinggi probabiitasnya.
![]() |
Ahli strategi dari bank investasi JP Morgan juga melihat peluang The Fed tidak akan agresif, meski dikatakan bukan skenario yang utama.
"Itu bukan skenario dasar tim ekonomi kami, tetapi kami pikir ada peluang The Fed akan mengerek suku bunga hingga 1,75% - 2% yang merupakan kebijakan normal dan memberi peluang untuk menghentikan sementara kenaikan suku bunga dan menilai terlebih dahulu dampak kebijakannya terhadap pasar tenaga kerja dan inflasi," kata ahli strategi JP Morgan dalam sebuah catatan kepada nasabah yang dikutip Reuters.
Perekonomian Amerika Serikat memang diperkirakan akan melambat, bahkan di kuartal I-2022 sudah mengalami kontraksi. Departemen Perdagangan AS kemarin melaporkan produk domestik bruto (PDB) estimasi kedua mengalami kontraksi 1,5%, lebih rendah dari rilis awal 1,3%.
Meski demikian, di kuartal II-2022, PDB Amerika Serikat diperkirakan akan rebound. GDPNow dari The Fed Atalanta yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi secara update berdasarkan indikator ekonomi terbaru menunjukkan PDB akan tumbuh 1,8% di kuartal II-2022.
Meski demikian, hal tersebut belum cukup membuat dolar AS kembali perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
