Rupiah Akhirnya Menguat Tajam, Tapi Ada Kabar Buruk Lho!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 May 2022 16:00
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah akhirnya mencatat penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) di bulan Mei. Bahkan, penguatannya cukup tajam 0,54% ke Rp 14.650/US$ pada perdagangan hari ini, Jumat (20/5/2022). Tetapi jangan senang dulu, ada kabar buruk bagi rupiah.

Hasil survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters menunjukkan para spekulan kini semakin agresif menjual (short) rupiah.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar. Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis hari ini Kamis (5195/2022) menunjukkan angka untuk rupiah -1,19 berbalik dari dua pekan lalu -0,56. Posisi short tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 2 tahun, tepatnya sejak April 2020.

Survei 2 mingguan Reuters tersebut cenderung konsisten dengan pergerakan rupiah. Ketika spekulan mengambil posisi short maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.

Rupiah yang berisiko terus melemah tidak lepas dari agresifnya bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga acuannya.

Selasa lalu, ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell menyatakan tidak akan ragu untuk menaikkan suku bunga hingga di atas level netral guna meredam inflasi.
"Apa yang perlu kita lihat adalah inflasi turun dengan cara yang jelas dan meyakinkan. Jika kami tidak melihat itu, kami harus mempertimbangkan untuk bergerak lebih agresif," tuturnya pada Konferensi Wall Street Journal yang dikutip dari Reuters.

Suku bunga dikatakan netral jika berada di level yang tidak menstimulasi perekonomian tetapi juga tidak menekannya. Suku bunga di AS dalam posisi netral diperkirakan berada di level 3,5%, dan kemungkinan akan berada di level tersebut pada tahun depan. Sebab, pasar pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed akan berada di kisaran 2,75% - 3%, artinya akan ada kenaikan 200 basis poin lagi.

Kenaikan suku bunga yang agresif tersebut mau tidak mau akan membuat Bank Indonesia (BI) untuk juga mengerek suku bunganya agar daya tarik aset dalam negeri masih terjaga. Suku bunga acuan BI saat ini 3,5%, dan terus menyempit dengan Amerika Serikat. Namun, kapan BI akan menaikkan suku bunga yang masih menjadi pertanyaan. BI akan mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 23 - 24 Mei mendatang.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Pemicu Penguatan Rupiah Hari ini

Penguatan rupiah pada hari ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pembukaan kembali larangan ekspor produk minyak sawit termasuk minyak goreng dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

"Berdasarkan kondisi pasokan dan harga minyak goreng saat ini, serta mempertimbangkan adanya 17 juta orang tenaga di industri sawit petani dan pekerja dan tenaga pendukung lainnya maka saya memutuskan ekspor minyak goreng akan dibuka kembali pada Senin 23 Mei 2022 ," kata Jokowi dalam pernyataan resminya, Kamis (19/5/2022).

Kabar tersebut tentunya memberikan dampak yang positif, sebab CPO merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar. Nilai ekspor CPO dan produk turunannya setiap bulannya mencapai US$ 2,5 miliar - 3 miliar.

Sebelumnya, Jokowi melarang ekspor CPO sejak 29 April lalu, dan rupiah tidak pernah menguat setelahnya. Saat ini, devisa menjadi penting untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan dari eksternal yang sangat besar.

Kemudian yang kedua pagi ini Bank Indonesia (BI) transaksi berjalan mencatat surplus US$ 0,2 miliar atau 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini membuat transaksi berjalan alias current account mengalami surplus tiga kuartal beruntun.

"Kinerja positif tersebut ditopang oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang tetap kuat seiring dengan harga ekspor komoditas global yang masih tinggi, seperti batu bara dan CPO, di tengah peningkatan defisit neraca perdagangan migas sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia.

Sementara itu, defisit neraca jasa meningkat sejalan dengan perbaikan aktivitas ekonomi yang terus berlanjut dan kenaikan jumlah kunjungan wisatawan nasional ke luar negeri pasca pelonggaran kebijakan pembatasan perjalanan antarnegara dan penyelenggaraan ibadah umrah yang kembali dibuka. Di sisi lain, defisit neraca pendapatan primer membaik sehingga menopang berlanjutnya surplus transaksi berjalan," papar laporan BI.

Surplus transaksi berjalan menjadi faktor penting bagi rupiah, sebab mencerminkan arus devisa yang lebih stabil.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular