Lapor Pak Perry, Rupiah Tembus ke Atas Rp 14.700/US$!
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah masih belum mampu bangkit melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (19/5/2022). Memperpanjang rekor buruk, di mana sepanjang bulan Mei, rupiah belum pernah mencatat menguat.
Melansir data Refinitiv, rupiah sebenarnya membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 14.670/US$. Tetapi hanya beberapa detik saja langsung terpangkas, bahkan rupiah berbalik melemah 0,17% ke Rp 14.710/US$ pada pukul 9:04 WIB. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 20 Oktober 2020.
Tanda-tanda rupiah akan melemah sudah terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah pagi ini ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin.
Periode | Kurs Rabu (18/5) pukul 15:13 WIB | Kurs Kamis (19/5) pukul 8:59 WIB |
1 Pekan | Rp14.673,9 | Rp14.699,5 |
1 Bulan | Rp14.689,0 | Rp14.713,0 |
2 Bulan | Rp14.727,0 | Rp14.763,0 |
3 Bulan | Rp14.767,0 | Rp14.791,0 |
6 Bulan | Rp14.879,0 | Rp14.903,0 |
9 Bulan | Rp14.989,0 | Rp15.013,0 |
1 Tahun | Rp15.132,7 | Rp15.174,0 |
2 Tahun | Rp15.575,0 | Rp15.641,6 |
Suku bunga di Amerika Serikat yang akan terus dinaikkan membuat rupiah tertekan.
Selasa lalu, ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell menyatakan tidak akan ragu untuk menaikkan suku bunga hingga di atas level netral guna meredam inflasi.
"Apa yang perlu kita lihat adalah inflasi turun dengan cara yang jelas dan meyakinkan. Jika kami tidak melihat itu, kami harus mempertimbangkan untuk bergerak lebih agresif," tuturnya pada Konferensi Wall Street Journal yang dikutip dari Reuters.
Suku bunga dikatakan netral jika berada di level yang tidak menstimulasi perekonomian tetapi juga tidak menekannya. Suku bunga di AS dalam posisi netral diperkirakan berada di level 3,5%, dan kemungkinan akan berada di level tersebut pada tahun depan. Sebab, pasar pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed akan berada di kisaran 2,75% - 3%, artinya akan ada kenaikan 200 basis poin lagi.
Suku bunga di atas netral, artinya bisa menekan perekonomian, dan Powell juga mengakui hal tersebut. Tetapi, ia menyatakan ada "banyak langkah" yang bisa dilakukan agar perekonomian AS tidak mengalami resesi yang dalam.
Kenaikan suku bunga yang agresif tersebut mau tidak mau akan membuat Bank Indonesia (BI) untuk juga mengerek suku bunganya agar daya tarik aset dalam negeri masih terjaga. Suku bunga acuan BI saat ini 3,5%, dan terus menyempit dengan Amerika Serikat.
Dampaknya sudah terlihat di pasar obligasi Indonesia yang mengalami capital outflow hingga Rp 78 triliun sepanjang tahun ini. Selain itu, Selain itu, lelang obligasi juga menjadi kurang menarik. Pekan lalu penawaran yang masuk hanya Rp 19,7 triliun di bawah target indikatif 20 triliun dan yang dimenangkan hanya 7,7 triliun.
Gubernur BI Perry Wajiyo dan kolega akan melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) lagi pada 23 dan 24 Mei mendatang. Kemungkinan BI menaikkan suku bunga masih ada, tetapi sepertinya kecil, sebab BI kemungkinan akan mengamati terlebih dahulu perkembangan inflasi inti pasca Ramadan.
Meski demikian, pelaku pasar akan melihat apakah BI masih bersikap dovish atau akan sedikit hawkish dengan mengindikasikan suku bunga akan naik di semester II-2022. Jika itu terjadi, rupiah tentunya punya tenaga untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)