Tenang Bestie! Bursa Asia Cerah Lagi, Semoga IHSG Bisa Nyusul

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Selasa, 17/05/2022 08:51 WIB
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka menguat pada perdagangan Selasa (17/5/2022), di mana investor akan memantau hasil rapat bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA).

Indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 0,13%. Tetapi selang beberapa jam setelah dibuka, Nikkei berhasil rebound, di mana per pukul 08:30 WIB, Nikkei menguat 0,19%.

Sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong dibuka melesat 1,22%, Shanghai Composite China naik tipis 0,04%, Straits Times Singapura menguat 0,73%, ASX 200 Australia bertambah 0,25% dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,46%.


Dari Australia, RBA akan merilis hasil dari pertemuan kebijakan moneter terbarunya pada hari ini pukul 09:30 waktu setempat. Sebelumnya pada April lalu, RBA telah menaikkan suku bunga acuannya untuk pertama kali dalam lebih dari satu dekade.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung cerah pada hari ini terjadi di tengah masih adanya ketidakpastian kondisi global yang membuat bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street masih belum bergairah hingga pekan ini.

Investor masih mewaspadai potensi resesi di AS. Buntutnya, bursa saham AS tertekan pada perdagangan Senin awal pekan ini.

Hanya indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) yang ditutup di zona hijau pada perdagangan Senin kemarin, yakni menguat tipis 0,08% ke level 32.223,42.

Sedangkan indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite ditutup terkoreksi kembali. S&P 500 melemah 0,39% ke level 4.008,01 dan Nasdaq ambruk 1,2% ke posisi 11.662,79.

Saham teknologi jadi beban laju Wall Street pada perdagangan awal pekan ini. Beberapa perusahaan cloud jatuh, di antaranya Datadog (-10,7%), Cloudflare (-13,6%), dan Atlassian (-6,3%). Sementara saham perusahaan kendaraan listrik Tesla anjlok 5,9%.

Indeks acuan bursa utama AS tersebut diterpa aksi jual setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan rencana agresif menaikkan suku bunga acuan. Selain itu, kekhawatiran resesi akibat inflasi yang tinggi juga menjadi faktor penghambat gerak bursa saham AS.

"Kami terus bertransisi melalui penetapan harga yang didorong oleh suku bunga ini," kata Bill Northey, direktur investasi senior di U.S. Bank Wealth Management.

"Jadi, karena kurva imbal hasil Treasury AS terus bergerak lebih tinggi untuk mengantisipasi inflasi realisasi yang lebih tinggi dan penyesuaian kebijakan Federal Reserve, kami telah melihat penyesuaian yang konsisten dan luas terhadap valuasi aset yang telah terjadi konsisten dengan meningkatnya kekhawatiran inflasi," tambah Bill.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) telah melonjak, merespon berakhirnya era suku bunga rendah. Yield tenor 10 tahun bahkan sempat mencapai 3% pada awal bulan ini. Naik dari 1,5% di awal tahun.

Yield obligasi dan saham memiliki hubungan yang negatif. Sehingga ketika yield obligasi meningkat, maka pasar saham cenderung melemah. Sebab saat pasar berada di dalam ketidakpastian, investor akan memilih obligasi yang lebih minim risiko.

Kini, beberapa analis percaya tren koreksi berkepanjangan (bearish) mulai membuka ruang pembalikan untuk investor jangka panjang.

"Indeks S&P 500 sedang mendekati level tersebut dengan cepat yang secara historis mengindikasikan bahwa risiko pertumbuhan di masa depan sudah terfaktorkan di posisi sekarang," tutur analis Citi Scott Chronert dalam laporan riset, yang dikutip CNBC International.

Ahli strategi di RBC Capital Markets mengatakan bahwa S&P 500 berada di persimpangan jalan karena berjuang untuk menemukan titik terendah. Jika indeks mampu bertahan di 3.850, indeks bisa rebound.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bursa Asia Anjlok Usai Trump Umumkan Tarif Impor Jepang-Korsel