Rp 19 Triliun Lenyap, Rupiah Terlemah Dalam 1,5 Tahun!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 May 2022 15:15
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah lagi-lagi terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (13/5/2022). Dengan demikian, sepanjang pekan ini rupiah tidak pernah menguat melawan dolar AS.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, kemudian sempat menguat tipis 0,03% sebelum berbalik melemah 0,21% ke Rp 14.625/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah dalam satu setengah tahun terakhir, tepatnya sejak 3 November 2020.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.610/US$ di pasar spot.

Capital outflow yang terjadi dari dalam negeri membuat rupiah tertekan. Net sell investor asing di pasar saham hari ini tercatat lebih dari Rp 1,3 triliun di pasar reguler, ditambah pasar nego dan tunai nilainya menjadi lebih dari Rp 2,2 triliun. Dengan demikian dalam 5 hari total capital outflow mencapai Rp 9 triliun di semua pasar.

Aliran dana asing yang keluar bahkan lebih deras lagi di pasar obligasi sekunder. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan dalam 3 hari perdagangan saja pada 9 - 11 Mei, duit yang terbang dari pasar obligasi sudah lebih dari 10 triliun.

Besarnya capital outflow tersebut menyusul Rp 20 triliun yang terjadi sepanjang bulan April.


Capital outflow
dari pasar saham dan obligasi tersebut di pekan ini lebih dari Rp 19 triliun yang membuat rupiah kehabisan tenaga melawan dolar AS.

Meski demikian, pelemahan rupiah di pekan dikatakan layak diapresiasi, sebab tidak terlalu besar.

"Rupiah harus diapresiasi, biasanya risk off global itu membuat rupiah kita sangat tertekan tapi kali ini tidak separah itu," ungkap Heriyanto Irawan, Ekonom Verdhana Sekuritas dalam webinar, Jumat (13/5/2022).

Menurut Heriyanto, alasan cukup tangguhnya rupiah adalah investor menilai fundamental ekonomi Indonesia kini bagus. Terlihat dari pemulihan ekonomi yang berlanjut, inflasi terkendali, defisit transaksi berjalan yang rendah dan kebijakan fiskal serta moneter yang kredibel. Investor pun tidak mengangkut dana banyak keluar.

"Investor lokal dan asing cukup apresiasi terhadap Indonesia," imbuhnya.

Di sisi lain, lonjakan harga komoditas membuat ekspor Indonesia meningkat. Maka dari itu pasokan dolar AS di dalam negeri masih cukup. Heriyanto memandang pelemahan nilai tukar bersifat sementara.

"Kami berharap ini seketika karena masalahnya global bukan fundamental," tegas Heriyanto.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cadangan Devisa Jeblok dan Bisa Makin Merosot

Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan posisi cadangan devisa per akhir Maret sebesar US$ 135,7 miliar, jeblok US$ 3,4 miliar dari bulan sebelumnya.
Posisi cadangan devisa tersebut merupakan yang terendah sejak November 2020 lalu.

Semakin besar cadangan devisa, artinya BI punya lebih banyak "peluru" untuk menstabilkan rupiah. Ketika cadangan devisa turun, maka "peluru" semakin berkurang sehingga memberikan sentimen negatif ke rupiah.

"Penurunan posisi cadangan devisa pada April 2022 antara lain dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan antisipasi kebutuhan likuiditas valas sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian," tulis BI dalam keterangan resmi Jumat (13/5/2022).

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan" tambah keterangan tersebut.

Di bulan ini, cadangan devisa tersebut berisiko semakin menurun jika melihat nilai tukar rupiah yang terus tertekan dan capital outflow yang terjadi di pasar obligasi. BI tentunya lebih banyak melakukan intervensi.

Ketika cadangan devisa perlu digunakan untuk melakukan intervensi, pasokan devisa justru akan semakin seret di bulan ini. Sebabnya, pemerintah melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan semua produk turunannya.

CPO yang termasuk dalam ekspor HS 15 (lemak dan minyak hewani/nabati) merupakan salah satu penopang neraca perdagangan Indonesia hingga mampu mencetak surplus dalam 23 bulan beruntun. Kontribusinya terhadap total ekspor menjadi yang terbesar kedua setelah HS 27 (bahan bakar mineral) yakni batu bara.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor HS 15 sepanjang kuartal I-2022 mencapai US$ 7,9 miliar mengalami kenaikan lebih dari 13% dari periode yang sama tahun lalu.

Setiap bulannya ekspor CPO dan produk turunannya tersebut berada di kisaran US$ 2,5 miliar - US$ 3 miliar. Nilai tersebut tentunya akan lenyap jika sepanjang bulan ini ekspor CPO masih dilarang, pasokan devisa pun menjadi seret.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular