
Pak Jokowi, Perkara Minyak Goreng Bikin Cadev Makin Anjlok!

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (cadev) Indonesia kembali mengalami penurunan pada Maret lalu bahkan lebih tajam dari bulan sebelumnya. Penurunan tersebut berisiko berlanjut lagi di bulan ini dan tidak menutup kemungkinan lebih tajam.
Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan posisi cadangan devisa per akhir Maret sebesar US$ 135,7 miliar, jeblok US$ 3,4 miliar dari bulan sebelumnya. Posisi cadangan devisa tersebut merupakan yang terendah sejak November 2020 lalu.
"Penurunan posisi cadangan devisa pada April 2022 antara lain dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan antisipasi kebutuhan likuiditas valas sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian," tulis BI dalam keterangan resmi Jumat (13/5/2022).
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan" tambah keterangan tersebut.
Namun, nilai tukar rupiah sedang terpuruk kemudian pasar obligasi Indonesia kurang menarik membuat cadangan devisa berisiko turun lagi bulan ini. Sebab, BI perlu banyak melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah.
Seperti diketahui, BI menerapkan kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas rupiah. Intervensi dilakukan pasar Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Rupiah sedang terpuruk belakangan ini, pagi tadi sempat menyentuh Rp 14.625/US$ yang merupakan level terlemah dalam satu setengah tahun terakhir. Cadangan devisa BI tentunya akan digunakan untuk intervensi di pasar spot dan DNDF guna menjaga stabilitas rupiah agar tidak melemah lebih jauh di bulan ini.
Stabilitas rupiah saat ini menjadi sangat penting sebab inflasi di Indonesia dalam tren kenaikan. Jika rupiah terus melemah, maka inflasi akan semakin terakselerasi.
Terpuruknya nilai tukar rupiah terjadi akibat bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang sangat agresif menaikkan suku bunga di tahun ini.
Maret lalu The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 5%. Di bulan ini The Fed lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. Kenaikan ini menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir.
Tidak sampai di situ, ketua The Fed Jerome Powell bahkan terang-terangan menyatakan suku bunga bisa dinaikkan lagi 50 basis poin dalam beberapa pertemuan ke depan.
Kebijakan tersebut juga membuat pasar obligasi Indonesia mengalami tekanan. Sebab yield obligasi AS (Treasury) mengalami kenaikan tajam, selisih (spread) dengan Surat Berharga Negara (SBN) semakin menyempit. Alhasil aksi jual melanda pasar obligasi dan terjadi capital outflow yang masif.
Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan sepanjang bulan April terjadi capital outflow dari pasar obligasi lebih dari Rp 20 triliun.
Capital outflow tersebut kembali berlanjut di bulan ini. Dalam 3 hari perdagangan saja pada 9 - 11 Mei, duit yang terbang dari pasar obligasi sudah lebih dari 10 triliun.
BI lagi-lagi akan menggunakan cadangan devisanya untuk intervensi di pasar obligasi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Jokowi Larang Ekspor CPO, Aliran Devisa Seret
