Menghitung Untung-Rugi Larangan Ekspor Minyak Sawit Jokowi

Teti Purwanti, CNBC Indonesia
Kamis, 12/05/2022 16:09 WIB
Foto: Pernyataan Presiden RI terkait Kebijakan Minyak Goreng, Istana Merdeka, 22 April 2022

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan melarang ekspor CPO sejak 28 April 2022. Kebijakan ini ditanggapi cukup beragam, termasuk anggapan kontraproduktif.

Meski begitu, kebijakan tersebut bukan tanpa alasan. Presiden Jokowi memutuskan menutup keran ekspor CPO dan turunannya untuk sementara. Merespons lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri, seiring dengan menguatnya harga CPO di pasar internasional, hingga cetak rekor.

Belum lagi, kata Jokowi, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia. Ironisnya, lanjut dia, masyarakat Indonesia justru kesulitan mendapatkan minyak goreng.


Saat pemerintah memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng Rp14.000 per liter untuk kemasan bermerek, Rp13.500 per liter untuk kemasan sederhana, dan Rp11.500 per liter untuk curah, disertai wajib pasok dalam negeri dengan harga domestik, minyak goreng tiba-tiba menjadi barang gaib.

Kelangkaan dan antrean panjang membeli minyak goreng dilaporkan terjadi di berbagai daerah.

"Saya sebagai Presiden tak mungkin membiarkan itu terjadi. Sudah empat bulan kelangkaan berlangsung dan pemerintah sudah mengupayakan berbagai kebijakan namun belum efektif. Karena itu, pemerintah memutuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Larangan itu berlaku untuk ekspor dari seluruh wilayah Indonesia termasuk dari kawasan berikat," kata Jokowi dalam pernyataan ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden, Rabu (27/4/2022).

"Larangan ini memang menimbulkan dampak negatif, berpotensi mengurangi produksi, hasil panen petani yang tak terserap. Namun, tujuan kebijakan ini adalah untuk menambah pasokan dalam negeri hingga pasokan melimpah," ujarnya.

Pemenuhan kebutuhan pokok dalam negeri, ujarnya, jadi prioritas tinggi. Termasuk dengan menerapkan kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya.

"Begitu kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, tentu saya akan mencabut larangan ekspor. Karena saya tahu negara perlu pajak, negara perlu devisa, negara perlu surplus neraca perdagangan. Tapi memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting," lanjut Jokowi.

Tanpa Perhitungan

Hanya saja, Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi mengatakan, pelarangan ekspor yang berubah-ubah (sejak rencana larangan diumumkan pada 22 April 2022) menunjukkan proses pembuatan kebijakan di Indonesia yang sulit diprediksi dan kontraproduktif.

"Menurut saya kebijakan larangan ekspor tidak tepat. Alih-alih membuat pengusaha patuh dengan hukuman larangan ekspor, kebijakan ini malah menimbulkan antipati dan pembangkangan kasat mata terhadap program minyak goreng pemerintah," kata Lionel kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (12/5/2022).

Dia menambahkan, larangan ekspor penuh akan mengurangi nilai ekspor minyak sawit hingga US$2,5-3 miliar per bulan. Atau, lebih dari dua kali lipat dampak larangan ekspor RBD palm olein saja yang mencapai US$1,1-1,35 miliar.

"Penurunan nilai ekspor yang lebih besar berpotensi membuat rupiah rentan terhadap dampak dari kenaikan suku bunga the Fed selama beberapa bulan ke depan," kata Lionel.

"Kami khawatir target harga minyak goreng curah pemerintah yang menjadi prasyarat mengakhiri larangan ekspor terlalu ambisius. Karena membutuhkan penurunan harga -29,7% ke Rp14.000 per liter (ekuivalen dengan IDR 15.555,6 per kg)," lanjut dia.

Samuel Sekuritas Indonesia memprediksi pelarangan ekspor CPO dan turunannya akan berlangsung setidaknya dalam satu bulan atau kurang.

Senada, Direktur Eksekutif Centre for Strategy and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai, pelarangan ekspor CPO dan turunannya minim perhitungan, tanpa timbang menimbang biaya ekonominya.

Padahal, ujar dia, intervensi pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan jika terjadi kegagalan di pasar. Terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti minyak goreng.

"Karena itu, harus mempertimbangkan dua hal, yaitu akibatnya serta mekanisme dan kemampuan implementasi. Pelarangan CPO ini tidak memperhitungkan biaya yang akan ditanggung perekonomian," kata Yose kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/5/2022).

Di mana, ekspor CPO dan turunannya adalah penyumbang devisa terbesar dan sumber penerimaan negara yang signifikan.

"Mungkin ini akan berhasil menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Tapi, bisa dibayangkan berapa pemasukan negara yang hilang akibat 36 juta ton ekspor per tahun tak lagi dapat dilakukan?," tukasnya.


(vap/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Masih Panas, Bisnis Packaging Kertas Bersiap Antisipasi

Pages