Lapor Pak Perry, Rupiah Tembus Rp 14.600/US$!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 May 2022 15:16
Konferensi Pers: Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur BI (FMCBG) ke-2 (Tangkapan Layar Youtube))
Foto: Konferensi Pers: Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur BI (FMCBG) ke-2 (Tangkapan Layar Youtube))

Badan Pusat Statistik (BPS) di awal pekan ini mengumumkan data inflasi Indonesia periode April 2022 tumbuh 0,95% dibandingkan sebulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini menjadi rekor tertinggi sejak 2017.

Sementara dibandingkan April 2021 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 3,47%. Ini adalah yang tertinggi sejak 2019.

Inflasi inti dilaporkan tumbuh 2,6% (yoy), tertinggi sejak Mei 2020 tetapi sedikit lebih rendah dari hasil polling Reuters 2,61% (yoy). Hingga April lalu, inflasi inti sudah naik dalam 7 bulan beruntun.

Ekonom OCBC Wellian Wiranto memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan bertindak pre-emptive dengan menaikkan suku bunga bulan ini untuk memerangi inflasi.

"Inflasi April ada di atas konsensus pasar. Ruang BI untuk mempertahankan target inflasi 2-4% kini tidak ada," tutur Wellian dalam laporan berjudul Time for a Hike.

"BI mengatakan akan mempertimbangkan inflasi inti sementara pada saat yang sama akan pre-emptive serta hati-hati. Kami pikir jalan terbaik dalam menyelesaikan hal tersebut adalah dengan mempercepat suku bunga daripada menundanya," imbuh Wellian.

Wellian menambahkan langkah pre-emptive BI juga dilakukan demi menjaga daya tarik aset domestik di tengah kebijakan The Fed yang agresif. Dia mengingatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah berada di jalur yang benar sehingga BI kemungkinan akan mulai mengambil langkah dalam meredam inflasi.

"Ekonomi domestik memang belum pulih sepenuhnya tapi dalam kondisi yang cukup baik. Namun, lonjakan inflasi harus segera ditangani untuk menjaga kepercayaan konsumen," ujarnya.

Wellian memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga pada Mei tahun ini. Secara keseluruhan, dia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps sepanjang tahun ini sehingga suku bunga acuan BI akan berada di level 4,5% di akhir tahun.

Sementara itu, Ekonom Bahana Sekuritas Satria Putra Sambijantoro mengatakan BI kemungkinan besar masih akan fokus pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan meredam inflasi. Terlebih, pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi belum kembali ke level sebelum pra pandemi.

Satria menambahkan lonjakan inflasi April disebabkan oleh adanya demand pull inflation maupun cost push inflation. Permintaan melonjak seiring datangnya bulan Ramadhan sementara harga naik sejalan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kenaikan harga BBM, serta komoditas pangan dan energi di pasar global.

Inflasi masih berpotensi naik jika pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite serta tarif dasar listrik. Bahana memperkirakan inflasi tahun ini akan berada di kisaran 3,5-4,2% jika pemerintah menaikkan Pertalite ataupun tarif dasar listrik. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pada lima tahun terakhir. Terakhir kali inflasi Indonesia menyentuh di atas 3,5% adalah pada 2017 (3,61%).

"Suku bunga hanya berdampak terhadap permintaan (inflasi inti) tetapi persoalan yang dihadapi sekarang adalah tekanan inflasi yang ditimbulkan oleh pasokan dan kenaikan harga BBM," ujar Satria dalam laporan bertajuk Will BI Curb Demand to Counter Inflation?

Satria mengatakan masih ada ruang bagi BI untuk tetap mempertahankan suku bunga tahun ini, terutama karena pemulihan ekonomi belum berlangsung secara penuh.

"Menurunkan inflasi dengan cara merusak permintaan sepertinya tidak akan menjadi pilihan kebijakan yang dipilih BI," imbuhnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular