Terungkap! Ini Alasan Bergugurannya Bursa Asia, Termasuk IHSG
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan global yang sebelumnya sempat pulih dari zona koreksi, kini kembali berjatuhan setelah dirilisnya data inflasi Amerika Serikat (AS) pada periode April 2022.
Bursa saham AS, Wall Street kembali berjatuhan pada penutupan perdagangan Rabu kemarin waktu AS. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,02%, S&P 500 ambruk 1,65%, dan Nasdaq Composite anjlok 3,18%.
Ambruknya Wall Street kemarin pun merembet ke bursa Asia-Pasifik pada hari ini, Kamis (12/5/2022). Padahal pada penutupan perdagangan kemarin, sebagian besar bursa Asia-Pasifik berhasil pulih dari zona koreksinya.
Per pukul 11:35 WIB, indeks Nikkei Jepang ambles 1,37%, Hang Seng Hong Kong ambrol 1,05%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,75%, ASX 200 Australia ambruk 1,39%, dan KOSPI Korea Selatan merosot 0,88%.
Sedangkan untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambruk 2,12% pada perdagangan sesi I hari ini.
Hanya indeks Shanghai Composite China yang berhasil rebound ke zona hijau yakni menguat 0,17%. Pada pembukaan perdagangan hari ini, Shanghai dibuka melemah 0,48%.
Sebelumnya, inflasi Negeri Paman Sam dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada April kembali mencapai 8,3% atau lebih buruk dari ekspektasi ekonom dan analis dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 8,1%. Namun, realisasi tersebut masih lebih landai dari inflasi Maret 2022 yang tercatat sebesar 8,5%.
Sedangkan inflasi inti, yang mengecualikan harga energi dan makanan, melompat 6,2% atau lebih buruk dari ekspktasi sebesar 6%. Dalam basis bulanan, inflasi tercatat sebesar 0,3% sedankan inflasi inti sebesar 0,6%.
Inflasi memang masih menjadi risiko utama ekonomi AS. Kenaikan inflasi yang mencapai level tertingginya dalam lebih dari 4 dekade terakhir diyakini berdampak ke semua elemen masyarakat.
Tidak hanya masyarakat kalangan bawah saja yang menderita karena tingginya harga barang dan jasa di AS. Orang-orang kaya di AS juga ikut terdampak, terutama mereka yang memiliki portofolio saham-saham teknologi.
Kenaikan inflasi yang sangat tinggi membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang sebelumnya royal tebar uang mendadak menjadi sangat agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.
Kenaikan harga telah menjadi perhatian utama, terutama karena The Fed menaikkan suku bunga acuan dan memangkas neraca untuk mengatasi inflasi.
Menyusul rilis inflasi tersebut, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun yang menjadi acuan di pasar sempat kembali menguat melewati level psikologis 3%. Namun pada pukul 21:30 malam waktu AS atau pukul 08:30 WIB hari ini, yield Treasury tenor 10 tahun kembali melandai ke kisaran level 2,8%.
Kembali ke Asia-Pasifik, inflasi di AS yang masih meninggi membuat otoritas moneter di Hong Kong melakukan intervensi untuk mempertahankan mata uangnya, di mana intervensi mata uang ini menjadi pertama kalinya sejak 2019 silam.
Sementara di China, bank sentral (People Bank of China/PBoC) menjadikan stabilisasi pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama dan akan meningkatkan dukungan untuk sektor-sektor yang lemah.
Pandemi virus corona (Covid-19) pada tahun ini diklaim menjadi yang terburuk sejak awal pandemi di China pada akhir tahun 2019 hingga awal tahun 2020, di mana pandemi kembali membebani pertumbuhan ekonomi dan menggetarkan rantai pasokan global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)