'Tsunami' Inflasi Belum Reda, Tetap Siaga!

Maesaroh, CNBC Indonesia
12 May 2022 11:49
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Amerika Serikat (AS) menembus 8,3% (year on year/YoY) pada April tahun ini. Inflasi tersebut memang sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yakni 8,5% tetapi masih dalam level tinggi jika dibandingkan kurun waktu 40 tahun terakhir.

Meredanya inflasi AS menjadi kabar baik mengingat laju Indeks Harga Konsumen (IHK) Negara Paman Sam sangat kencang setahun terakhir. Inflasi yang lebih rendah [ada April menjadi catatan positif karena ini adalah kali pertama AS mencatatkan penurunan inflasi sejak Agustus 2021.

Secara month to month/mtm, inflasi AS di bulan April tercatat 0,3%. Level tersebut jauh lebih rendah dibandingkan bulan Maret yakni 1,2%.

Merujuk data Biro Statistik AS, inflasi AS terus meroket dari 5,3% (YoY) pada Agustus 2021 menjadi 8,5% (YoY) pada Maret 2022. Level tersebut adalah yang tertinggi sejak 1981 atau 40 tahun lalu.


IHK kelompok energi di bulan April juga sedikit mengendur dibandingkan bulan Maret. Biro Statistik dan Tenaga Kerja AS mencatat harga energi memang masih naik 30,3% (YoY) sementara di kelompok bensin bensin melonjak 43,6% (YoY) di bulan April.

Namun, lonjakan harga tersebut lebih rendah dibandingkan Maret 2022 yang masing-masing tercatat 32% dan 48%. Harga energi di AS melonjak tajam sejak meletusnya perang Rusia dan Ukraina, akhir Februari lalu.

Sebaliknya, inflasi kelompok pangan terus merangkak naik. Inflasi pada kelompok pangan tercatat 9,4% (YoY) dan 0,9% (MtM)). Sebagai perbandingan, pada Maret inflasi pada kelompok pangan tercatat 8,8 (YoY) dan 1,0 (MtM). Dibandingkan Maret, inflasi kelompok pangan memang lebih rendah tetapi tetap saja menunjukkan kenaikan. Selama tujuh bulan beruntun, kelompok pangan terus mengalami inflasi.

Sementara itu, secara tahunan, inflasi pangan memang meroket tajam dalam setahun terakhir. Pada April 2021, inflasi pangan masih tercatat 2,1% tetapi pergerakannya melesat sejak Januari tahun ini. Pemulihan ekonomi serta kenaikan harga komoditas pangan akibat perang Rusia-Ukraina mendongkrak inflasi pangan AS ke level 8% sejak Maret 2022 atau yang tertinggi sejak April 1981.

Harga roti, susu, dan telur di ASFoto: BLS.gov
Harga roti, susu, dan telur di AS

Harga produk kebutuhan sehari-hari (groceries) seperti susu naik 2,5% atau yang tertinggi sejak Juli 2007. Harga roti, jeruk, hingga telur juga masih tinggi. 

Menanggapi data inflasi April, Presiden AS Joe Biden dalam pernyataan resminya mengatakan inflasi masih dalam batas "yang tidak bisa diterima". Dia juga menegaskan menurunkan inflasi masih menjadi fokus utama pemerintahannya.

"Saya ingin semua masyarakat AS tahu bahwa saya akan meredam inflasi dengan sangat serius. Menurunkan inflasi adalah prioritas utama," tutur Biden, dilansir dari pernyataan resmi Gedung Putih.

Dalam upayanya meredam inflasi, pemerintah AS pada akhir Maret lalu, telah melepas cadangan minyak strategis 1 juta barel per hari. Keputusan ini diambil untuk menekan harga BBM dan Inflasi. Biden mengumumkan pelepasan cadangan minyak strategis ini akan dilakukan selama enam bulan ke depan.

"Hal yang menggembirakan bahwa inflasi menurun di April tetapi inflasi masih dalam batas yang tinggi. Inflasi masih menjadi tantangan keluarga di seluruh penjuru AS,"imbuhnya.

Inflasi inti -di luar kelompok pangan dan energi- tercatat 0,6% (MtM) dan 6,2% (YoY) pada April. Pada Maret, IHK pada kelompok tersebut tercatat 0,3% dan 6,5%.

Sejumlah ekonom dan analis juga mengingatkan bahwa inflasi termasuk inflasi inti masih bisa melonjak karena sejumlah faktor. Di antaranya adalah belum meredanya perang Rusia-Ukraina serta kebijakan lockdown di China. Perang akan membuat harga komoditas pangan dan energi sulit turun sementara lockdown di China akan mengganggu rantai pasok global sehingga harga barang melonjak.

"Inflasi sepertinya masih sulit turun di level pra-pandemi dalam waktu singkat. Inflasi AS akan bertahan di atas 2%, di atas target The Fed karena gangguan rantai pasok yang terus terjadi dan masih tingginya harga pangan," tutur kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro, kepada CNBC Indonesia.


Pemulihan ekonomi serta pelonggaran di sejumlah negara juga telah kembali meningkatkan minat masyarakat AS untuk bepergian. Kondisi ini tercermin dari melonjaknya tiket pesawat udara. Tarif pesawat melonjak 18,6% di April dibandingkan bulan sebelumnya. Ini adalah kenaikan tertinggi sejak 1963.

"Inflasi mulai mereda tetapi tetap tinggi. Inflasi masih 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan target The Fed yang berada di kisaran 2%," tutur Sarah House dan Michael Pugliese, ekonom dari Wells Fargo, seperti dikutip dari CNN.

Pugliese mengingatkan harga energi bisa saja kembali melonjak karena kenaikan harga gas di bulan Mei. Inflasi sektor perumahan juga belum mencapai puncaknya.

"Inflasi mungkin sudah menapai puncaknya tetapi masih tetapi tinggi. Masih butuh waktu untuk menurunkan inflasi dari atas level 8%," tutur Robert Frick dari Navy Federal Credit Union.


Masih tingginya inflasi tersebut diyakini akan membuat The Fed menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan Juni mendatang. Sebagai catatan, pekan lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 0,75-1%. Terakhir kali Fed menaikkan suku bunga sebesar 50 bps pada Mei 2000. Selama 20 tahun lebih, the Fed menaikkan suku bunga sebesar 0,25%.

Presiden Biden sendiri telah mendukung sepenuhnya upaya The Fed dalam memerangi inflasi. "Saya tidak pernah mencampuri independensi The Fed. Namun, saya percaya dengan perkataan Chairman (Jerome) Powell bahwa salah satu tantangan yang terus menguat adalah inflasi. Saya percaya bahwa The Fed akan menjalankan tugasnya sesuai apa yang mereka pikirkan," tutur Biden.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada 'Hantu' Bergentayangan di Dunia, Waspada!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular