
'Hantu' Inflasi Makin Gentayangan di Negara Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekuatan ekonomi China tidak kebal dari ancaman 'tsunami; inflasi. Inflasi tinggi pada April 2022 bahkan menimbulkan kekhawatiran baru. Inflasi yang dipicu oleh terganggunya pasokan tersebut dikhawatirkan akan merembes kepada perekonomian global.
China mencatatkan inflasi (year on year/YoY) sebesar 2,1% pada April 2022 yang merupakan level tertinggi sejak November 2021. Inflasi tersebut naik drastis dibandingkan yang tercatat pada Maret 2022 yakni 1,5%. Juga, jauh lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan inflasi akan ada di angka 1,8%.
Kebijakan lockdown yang dilakukan Presiden Xi Jinping serta meningkatnya penyebaran Covid-19 di China membuat biaya operasional naik. Pabrik-pabrik juga kesulitan untuk memperoleh bahan baku serta mengirimkan produk mereka yang membuat kenaikan harga tidak terbendung.
Kenaikan harga komoditas energi juga mau tidak mau membuat produksi dan ongkos transportasi membengkak yang membuat inflasi melonjak. Sebagai catatan, China mengunci setidaknya 45 kota sejak Maret 2022, termasuk pusat bisnis Shanghai. Penguncian wilayah dilakukan menyusul melonjaknya kasus Covid-19 akibat varian Omicron.
Baik inflasi pangan atau non-pangan sama-sama naik pada April tahun ini. Harga pangan naik 1,9% (YoY), berbanding terbalik dengan kontraksi 1,5% bulan sebelumnya.
Harga sayuran segar bahkan melonjak hingga 24% dibandingkan periode yang sama tahun lalu serta melonjak 17,2% dibandingkan Maret. Kenaikan ongkos logistik serta kebutuhan membuat harga kentang naik 8,8%, telur naik 7,1%, buah segar naik 5,2%
Sementara itu, daging babi yang merupakan komoditas pangan terpenting di China harganya juga mengalami kenaikan dibandingkan Maret.
Inflasi non pangan ada di 2,2%% pada April, stabil dibandingkan bulan sebelumnya. Inflasi non-pangan dipicu oleh naiknya tarif transportasi, pendidikan, hingga pakaian.
Sementara itu, indeks harga produsen China naik 8% di April turun tipis dibandingkan 8,3% pada Maret. Kenaikan inflasi produsen tersebut melampaui prediksi yang berada di angka 7,8%.
"Terkena dampak Covid-19 dan kenaikan harga komoditas, inflasi naik 0,4% (month to month/MtM) dan 2,1% (YoY). Semua pemangku kepentingan akan mengambil langkah untuk memastikan ketersediaan pasokan dan menstabilkan harga," ujar ahli statistik China dari Biro Statistik China, Dong Lijuan, seperti dikutip South China Morning Post.
Zhang Zhiwei, Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management, mengingatkan tingginya inflasi China bisa merembes ke perekonomian global. Pasalnya, China merupakan eksportir dan produsen terbesar di dunia. China berkontribusi terhadap 15% perdagangan global sehingga kenaikan biaya produksi ataupun gangguan pasokan di negara tersebut bisa mengerek inflasi global.
Ekspor China menembus US$ 273,62 miliar pada April 2022, atau tumbuh 3,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan di April 2021 yakni 14,7%.
Zhiwei menambahkan sebagai produsen terbesar di dunia, penurunan produksi di China bisa berimbas kepada permintaan serta ekspor mitra dagang mereka.
Kondisi tersebut setidaknya sudah tercermin dari ekspor Korea Selatan yang merupakan salah satu mitra dagang utama Negara Tirai Bambu. Ekspor Korea Selatan pada April lalu mencatatkan pertumbuhan 12,6% (YoY) tetapi pengiriman ke China anjlok 3,4%.
Namun, inflasi sepertinya belum menjadi fokus utama pemerintahan China. Zhiwei mengatakan fokus Beijing masih pada upaya untuk menahan laju varian Omicron serta menstabilkan pertumbuhan ekonomi.
"Inflasi naik karena lockdown yang menyebabkan rantai pasok terganggu. Panic buying serta tindakan konsumen yang menumpuk pasokan membuat permintaan melonjak. Jika gangguan pasokan ini secara perlahan menghilang maka tekanan inflasi akan mereda," tutur Zhiwei.
Inflasi kini tengah menjadi persoalan global. Tidak hanya China, sejumlah negara, termasuk Indonesia, juga kini dihadapkan pada lonjakan inflasi akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi.
Inflasi Indonesia melesat 3,47% di bulan April yang merupakan rekor tertinggi sejak Agustus 2019. Dunia kini juga tengah menunggu data inflasi Amerika Serikat untuk bulan April setelah negara tersebut mencatatkan rekor inflasi 8,5% di Maret.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Lagi Amerika, China Kini Jadi 'Musuh' Rupiah