Inflasi Tinggi di AS Bakal Picu Resesi, Bisa Merembet ke RI?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 April 2022 15:15
Foto Ilustrasi Gedung
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Meski The Fed akan sangat agresif menaikkan suku bunga, tetapi sejauh ini tidak ada gejolak di pasar finansial global, begitu juga di dalam negeri. Nilai tukar rupiah masih stabil sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, bahkan investor asing melakukan beli bersih lebih dari Rp 41 triliun sepanjang tahun ini.

Hanya pasar obligasi yang mengalami tekan, dan terjadi capital outflow puluhan triliun.

Untuk diketahui, The Fed di tahun ini berencana menaikkan suku bunga sebanyak 7 kali, kenaikan pertama sudah dilakukan Maret lalu sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%.

Alhasil, yield obligasi AS (Treasury) terus menanjak, yang memberikan tekanan ke Surat Berharga Negara (SBN).

Pelaku pasar sebenarnya sudah menakar kemungkinan kenaikan 50 basis poin di bulan Mei bahkan juga di bulan Juni, sehingga tidak ada gejolak di pasar finansial.
Powell juga melihat jika investor sudah price in, dengan menyebut mereka bereaksi dengan tepat secara umum.

Spekulan juga sudah menakar kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat, apalagi setelah yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun mengalami inversi akhir Maret lalu.
Hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Pada tahun 2018 lalu, The Fed juga agresif menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali. Inversi kemudian muncul di 2019, dan perekonomian AS akhirnya mengalami resesi di 2020 meski penyebab utamanya yakni pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Resesi merupakan hal yang biasa terjadi, Amerika Serikat bahkan sudah berulang kali mengalami resesi.

Meski sudah biasa terjadi, tetapi efeknya cukup buruk. PDB seperti disebutkan sebelumnya mengalami penurunan, kemudian pendapatan masyarakat menurun, begitu juga dengan aktivitas manufaktur serta penjualan ritel. Tingkat pengangguran juga akan mengalami kenaikan.

Amerika Serikat merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ketika mengalami pelambatan atau bahkan sampai resesi maka negara-negara lain akan ikut terseret.

Posisi Amerika Serikat juga cukup penting bagi Indonesia, sebab merupakan mitra dagang terbesar kedua setelah China.

Sepanjang 2021, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar US$ 25,8 miliar, yang berkontribusi 11,75% terhadap total ekspor. Ketika resesi terjadi, permintaan dari negara adidaya tersebut tentunya akan menurun.

Tahun 2020 saat AS mengalami resesi, Indonesia juga ikut menyusul. Tetapi faktor utamanya kala itu yakni pandemi Covid-19. Tidak hanya AS dan Indonesia, banyak negara juga mengalami hal yang sama.

Jika melihat ke belakang, resesi yang dialami AS pada periode 2007 hingga 2009 serta krisis finansial global memang tidak membuat Indonesia mengalami resesi, tetapi cukup membuat produk domestik bruto (PDB) mengalami pelambatan.

Pada kuartal I-2009, PDB Indonesia terjun ke bawah 5% (yoy), dan baru bisa kembali lagi ke atasnya di kuartal IV-2009.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular