BI Sabar Naikkan Suku Bunga, Rupiah Masih Aman Sentosa!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 April 2022 13:20
Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan April 2022 Cakupan Triwulanan. (Tangkapan Layar Youtube)
Foto: Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan April 2022 Cakupan Triwulanan. (Tangkapan Layar Youtube)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) Selasa kemarin mengumumkan kebijakan moneternya. Sesuai dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia, BI masih mempertahankan kebijakannya.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16-17 Maret 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG, Selasa (19/4/2022).

Dengan demikian, suku bunga acuan tidak berubah selama 14 bulan terakhir. Suku bunga acuan 3,5% adalah yang terendah dalam sejarah Indonesia merdeka.

Tidak hanya itu, Perry masih mempertahankan sikap dovish-nya dengan menyatakan masih bersabar untuk menaikkan suku bunga. Ia sekali lagi menegaskan kebijakan moneter tidak merespon administered prices atau harga yang ditentukan pemerintah. Hal ini terkait dengan kenaikan beberapa harga, seperti Pertamax yang ditentukan pemerintah.

Yang direspon oleh BI adalah dampak second round yang terlihat dari inflasi inti. BI juga menyatakan terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.

"Esensinya sabar, menunggu koordinasi lebih lanjut, pada waktunya kami akan menjelaskan, komitmen kami menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry.

Kebijakan tersebut tentunya membuat selisih (spread) suku bunga di Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) menyempit. Sebab, bank sentral AS (The Fed) akan agresif menaikkan suku bunga. Pada bulan lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%, dan masih akan menaikkan 6 kali di tahun ini.

Bahkan, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Mei dan Juni.

Melihat agresivitas The Fed tersebut dan BI yang masih tetap bersabar, rupiah seharusnya mengalami keterpurukan. Namun nyatanya rupiah masih cukup stabil di tahun ini, bahkan kemarin menguat 0,13%.

Pada perdagangan hari ini, Rabu (20/4/2022), siang rupiah hanya melemah tipis 0,07% di Rp 14.345/US$, dan sepanjang tahun ini pelemahannya sekitar 0,7% saja.
Perry pun masih optimistis rupiah akan tetap stabil di tahun ini.

"Stabilitas nilai tukar rupiah akan tetap terjaga," ungkap Perry kemarin.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Penopang Stabilitas Rupiah

Fundamental dalam negeri yang terus membaik membuat rupiah tak gentar menghadapi almighty dolar. Kenaikan harga komoditas memberikan keuntungan bagi Indonesia, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 23 bulan beruntun.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor Indonesia bulan lalu adalah US$ 21,97 miliar. Tumbuh 32,02% dibandingkan Februari 2022 (month-to-month/mtm) dan 30,85% dibandingkan Maret 2021 (year-on-year/yoy).

Sebelumnya, BPS mengungkapkan nilai ekspor Maret 2022 adalah US$ 26,5 miliar. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 4,53 miliar.
Surplus ini adalah yang ketiga terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Hanya kalah dari Oktober 2021 (US$ 5,74 miliar) dan Agustus 2021 (US$ 4,75 miliar).

Indonesia sudah membukukan surplus neraca perdagangan sejak April 2020, atau selama 23 bulan terakhir. Ini baru kali pertama terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Rekor surplus perdagangan tanpa putus kali terakhir terjadi pada Agustus 2008-Juni 2010 yang juga berlangsung selama 23 bulan. Kala itu Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kinerja positif neraca perdagangan tersebut membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021.

Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Transaksi berjalan merupakan salah satu dari dua pos Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Surplus transaksi berjalan tersebut menjadi kunci stabilnya rupiah, bahkan bisa menguat sebab mencerminkan arus devisa yang bertahan lama di dalam negeri, tidak seperti pos yang lainnya yakni transaksi modal dan finansial yang gampang datang dan pergi.

Untuk saat ini, transaksi modal dan finansial masih mencatat kinerja apik, khususnya di pasar saham. Data pasar menunjukkan sepanjang pekan lalu investor asing melakukan beli bersih sekitar Rp 5,3 triliun, dan sepanjang tahun ini lebih dari Rp 41 triliun. Inflow tersebut mampu mengimbangi capital outflow di pasar obligasi sepanjang tahun ini hingga 14 April lalu sebesar Rp 41,3 triliun.

Untuk transaksi berjalan sendiri di tahun ini, Bank Indonesia (BI) memprediksi akan kembali defisit, tetapi sekitar 1,1% - 1,9% dari PDB. Proyeksi tersebut lebih rendah dari rata-rata defisit pada periode 2012 - 2020 sebesar 2,3% dari PDB.

Kemarin, BI bahkan kembali menurunkan proyeksi defisit transaksi berjalan.

"Ke depan, tingginya harga komoditas global diprakirakan akan menopang peningkatan nilai ekspor untuk tahun 2022 sehingga defisit transaksi berjalan diprakirakan akan lebih rendah, yaitu menjadi 0,5% - 1,3% dari PDB, menurun dibandingkan proyeksi sebelumnya sebesar 1,1% - 1,9% dari PDB," kata Perry.

Dengan demikian, menurut Perry, Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) bisa tetap surplus pada 2022. Tahun lalu, NPI tercatat surplus US$ 13,5 miliar, dengan transaksi berjalan surplus sebesar US$ 3,3 miliar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Para Bos Mulai "Buang" Dolar AS

Meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, tetapi nyatanya pelaku pasar justru mengurangi posisi beli spekulatif dolar AS.

Berdasarkan data Commodity Futures Trading Commission (CFTC), pada pekan yang berakhir 5 April posisi beli bersih (net long) dolar AS mengalami penurunan nyaris US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28,7 triliun (kurs Rp 14.350/US$) menjadi US$ 14,13 miliar.

Data terbaru menunjukkan posisi net long tersebut kembali menurun, pada pekan yang berakhir 12 April menjadi US$ 13,22 miliar.

Artinya, sudah 2 pekan beruntun para spekulan mengurangi posisi beli dolar AS, padahal The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga 50 basis poin pada bulan depan.

Berkurangnya posisi spekulatif tersebut menjadi indikasi meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, tetapi sebagian pelaku pasar melihat dolar AS tidak akan menguat terlalu jauh.

Jika net long dolar AS menurun, posisi spekulatif rupiah justru berbalik dari jual menjadi beli. Hal tersebut terlihat dari survei dua mingguan yang dilakukan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis hari ini Kamis (7/4/2022) menunjukkan angka untuk rupiah -0,04 membaik dari dua pekan lalu 0,04.

Sepanjang tahun ini, kebanyakan rupiah mengalami aksi jual (short), hanya dua kali survei saja yang nilainya minus alias spekulan mengambil posisi long, itu pun nilainya tidak terlalu besar.

Dengan spekulan kembali long terhadap rupiah dan net long dolar AS berkurang, Mata Uang Garuda tentunya memiliki peluang untuk menguat ke depannya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular