Para Bos Mulai 'Buang' Dolar, Warga +62 Masih Mau Simpan?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 April 2022 12:47
Gedung Capitol Amerika Serikat
Foto: Reuters

Notula rapat kebijakan moneter edisi Maret yang dirilis Kamis pekan lalu menunjukkan bagaimana agresifnya The Fed akan bertindak. Tidak hanya akan menaikkan suku bunga, neraca (balance sheet) The Fed juga akan dikurangi dengan nilai yang jumbo. Dengan mengurangi nilai neraca, artinya The Fed akan melepas obligasi pemerintah dan efek beragun aset yang dimiliki, sehingga bisa menyerap likuiditas.

The Fed pada bulan lalu menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25-0,5%, dan masih akan menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini. Bahkan, pada bulan depan suku bunga diperkirakan naik 50 basis poin, sesuatu yang sangat jarang terjadi.

Selain itu, nilai neraca yang saat ini nyaris US$ 9 triliun akan dikurangi US$ 95 miliar per bulan, dengan rincian obligasi (US$ 60 miliar) dan efek beragun aset (US$ 35 miliar). Pengurangan nilai neraca tersebut nilainya dua kali lipat ketimbang yang dilakukan pada tahun 2017-2019.

Agresifnya The Fed dalam menormalisasi kebijakannya membuat dukungan moneter ke perekonomian menghilang. Alhasil, Amerika Serikat kini kembali dibayangi resesi.

Sinyal akan terjadinya resesi sudah terlihat dari inversi yang terjadi antara yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dengan 10 tahun. Inversi terjadi saat yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dari tenor jangka panjang.

Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi.

Inversi yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dan 10 tahun terjadi lagi selama beberapa hari sejak Kamis (31/3/2022) lalu. Sebelumnya inversi terjadi pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi di tahun 2020, meski resesi itu lebih disebabkan oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Untuk saat ini, Reuters mengadakan survei terhadap lebih dari 100 ekonom pada periode 4- 8 April. Hasilnya perekonomian Negeri Stars and Stripes akan mengalami resesi dalam 24 bulan ke depan, dengan probabilitas sebesar 40%. Sementara survei yang dilakukan Wall Street Journal menunjukkan resesi akan terjadi dalam 12 bulan ke depan dengan probabilitas sebesar 28%.

Risiko terjadinya resesi tersebut membuat dolar AS melempem melawan rupiah sepanjang tahun ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan rupiah berbalik menguat jika Bank Indonesia (BI) bersikap lebih hawkish dengan memberikan sinyal kenaikan suku bunga di semester II-2022.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular