
MAS Ketatkan Moneter, Kurs Dolar Singapura kok Turun?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada Kamis pekan lalu, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) kembali mengetatkan kebijakannya. Alhasil, kurs dolar Singapura sempat melesat melawan rupiah. Tetapi kini mata uang Negeri Merlion ini kembali menurun.
Pada perdagangan Senin (18/4) pagi, dolar Singapura sempat turun 0,26% ke Rp 10.544/SG$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.
MAS pada Kamis (14/4/2022) mengumumkan merubah titik tengah (centre) menjadi lebih tinggi, dan sedikit menaikkan slope.
Untuk diketahui, di Singapura, tidak ada suku bunga acuan, kebijakannya menggunakan S$NEER (Singapore dollar nominal effective exchange rate), yang terdiri dari kemiringan (slope), lebar (width) dan titik tengah (centre).
Kebijakan moneter, apakah itu longgar atau ketat, dilakukan dengan cara menetapkan kisaran nilai dan nilai tengah dolar Singapura terhadap mata uang negara mitra dagang utama. Kisaran maupun nilai tengah itu tidak diumbar kepada publik.
Sebelumnya MAS sudah menaikkan slope sebanyak dua kali pada Oktober 2021 dan Januari tahun ini. Slope berfungsi membuat penguatan/penurunan dolar Singapura lebih cepat/lambat. Ketika slope dinaikkan, maka dolar Singapura bisa menguat lebih cepat, begitu juga sebaliknya.
Pengetatan kebijakan tersebut dilakukan untuk meredam inflasi yang terus menanjak.
Meski MAS sudah 3 kali mengetatkan kebijakannya, sementara Bank Indonesia (BI) masih bersikap dovish, rupiah masih mampu tampil perkasa.
Hal ini bisa memberikan keuntungan bagi rupiah seandianya BI akhirnya memberikan sinyal jelas akan menaikkan suku bunga.
Pada pekan lalu, BI sekali lagi menegaskan belum akan menaikkan suku bunga sampai inflasi naik secara fundamental.
Gubernur BI Perry Warjiyo masih optimis tahun ini inflasi tetap terkendali dan masih berkisar pada asumsi semula, yaitu 2-4%, sekalipun kini harga barang dan jasa terus naik.
"Sejauh ini kami masih confident inflasi masih bisa terjaga 2-4%," ungkap Perry usai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Rabu (13/4/2022).
Perry sekali lagi menegaskan jika kebijakan moneter BI, terutama suku bunga tidak akan merespon first round impact dari kenaikan harga saat ini.
BI akan mengumuman kebijakan moneter Selasa besok, pasar melihat BI masih akan mempertahankan suku bunga acuan 3,5%. Tetapi, pasar juga menanti jika ada kejutan atau perubahan sikap BI menjadi lebih hawkish, tentunya rupiah berpeluang melesat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
