
Ramai Prediksi Amerika Serikat Resesi, Dampaknya ke RI Ngeri?

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Inflasi di Amerika Serikat (AS) kembali melesat di bulan Maret, semakin menguatkan peluang The Fed (bank sentral AS) akan menaikkan suku bunga lebih agresif lagi di tahun ini. Namun, langkah The Fed tersebut diperkirakan akan membuat perekonomian AS kembali mengalami resesi.
Tidak hanya satu, tetapi banyak ekonom, analis, taipan, hingga mantan pejabat elit The Fed memberikan prediksi yang sama.
Reuters mengadakan survei terhadap lebih dari 100 ekonom pada periode 4 - 8 April hasilnya perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi dalam 24 bulan ke depan, dengan probabilitas sebesar 40%.
Sementara survei yang dilakukan Wall Street Journal menunjukkan resesi akan terjadi dalam 12 bulan ke depan dengan probabilitas sebesar 28%.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat (AS) kini sudah menembus 8,5% (year-on-year/yoy) di bulan Maret, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,9% (yoy). Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak Desember 1981.
Sebelumnya Bill Dudley, mantan Presiden The Fed wilayah New York mengatakan melihat inflasi yang berada di level tertinggi 40 tahun, dan langkah The Fed yang agresif menaikkan suku bunga, maka resesi tidak bisa terhindarkan.
Menurut Dudley, ketua The Fed Jerome Powell terlambat bertindak untuk mengendalikan inflasi pada tahun lalu. The Fed kini disebut tidak akan bisa mencapai "soft landing" atau melandaikan inflasi tanpa membuat perekonomian AS mengalami resesi.
"Penerapan framework The Fed terlambat untuk mengendalikan inflasi. Ini pada akhirnya membuat hard landing tidak bisa dihindari," kata Dudley, sebagaimana diwartakan Fortune, Rabu (30/3/2022) lalu.
Sementara itu dari kalangan investor dan triliuner ada Carl Icahn, Jeff Gundlach dan Leon Cooperman yang memprediksi terjadinya resesi.
"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3/2022).
Indikator resesi yang akurat, yakni inversi yield obligasi (Treasury) tenor 2 tahun dan 10 tahun juga sudah muncul pada 31 Maret lalu.
Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi.
Inversi terjadi saat yield obligasi (Treasury) tenor pendek lebih tinggi dari tenor jangka panjang.
Kini inversi antara yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun kembali terjadi pada 31 Maret lalu, tepat saat The Fed mulai menaikkan suku bunga.
Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Pada tahun 2018 lalu, The Fed juga agresif menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali. Inversi kemudian muncul di 2019, dan perekonomian AS akhirnya mengalami resesi di 2020 meski penyebab utamanya yakni pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kalau AS Resesi, Ini Dampaknya Bagi Indonesia