Amerika Serikat Terancam Resesi, Rupiah Ngegas!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 April 2022 09:11
Ilustrasi Rupiah dan Dolar di Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi di Amerika Serikat (AS) yang terus meroket membuat indeks dolar AS terus menanjak. Meski demikian, rupiah masih mampu menguat di awal perdagangan Rabu (13/4/2022).

Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,07% ke Rp 14.350/US$ di pasar spot melansir data Refinitiv. Rupiah bertahan di level tersebut hingga pukul 9:10 WIB. 

Sebelum pasar finansial Indonesia dibuka, rupiah sudah menunjukkan sinyal akan menguat, terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat pagi ini ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin.

PeriodeKurs Selasa (12/4) pukul 15:13 WIBKurs Rabu (13/4) pukul 8:56 WIB
1 PekanRp14.259,3Rp14.253,4
1 BulanRp14.365,0Rp14.367,7
2 BulanRp14.393,0Rp14.380,6
3 BulanRp14.408,0Rp14.397,6
6 BulanRp14.463,0Rp14.475,0
9 BulanRp14.554,0Rp14.582,3
1 TahunRp14.698,0Rp14.681,5
2 TahunRp14.979,0Rp14.942,3

Kemarin, indeks dolar AS melesat 0,36% kemarin ke 100,29 yang merupakan level tertinggi sejak Mei 2020.

Kenaikan indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut terjadi setelah inflasi di Amerika Serikat kembali meroket per Maret 2022, atau lebih tinggi dari inflasi tahunan bulan sebelumnya sebesar 7,9%. Indeks harga konsumen itu juga menjadi yang tertinggi sejak Desember 1981.

Rilis inflasi oleh Biro Statistik Ketenagakerjaan itu jauh lebih buruk di atas ekspektasi dalam konsensus ekonom yang semula memperkirakan angka 8,4%, serta semakin menguatkan ekspektasi The Fed (bank sentral AS) akan menaikkan suku bunga 50 basis poin pada bulan Mei dan Juni.

Inflasi sepertinya akan menjadi "tsunami" yang bisa menyapu banyak negara di dunia. Kenaikan inflasi tentunya membuat daya beli menurun yang pada akhirnya memukul perekonomian.

Amerika Serikat sendiri sudah banyak yang memprediksi akan mengalami resesi di tahun depan. Sebab, The Fed akan sangat agresif dalam mengetatkan kebijakan moneter di tahun ini.

Kali terakhir The Fed agresif menaikkan suku bunga hingga 4 kali di 2018, perekonomian AS mengalami resesi di 2020, meski salah satu faktor utama yakni pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Yang menarik, sebelum mengalami resesi yield obligasi (Treasury) AS mengalami inversi di tahun 2019.

Kini inversi antara yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun kembali terjadi pada 31 Maret lalu, tepat saat The Fed mulai menaikkan suku bunga.
Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Para ekonom yang disurvei Reuters pada periode 4 - 8 April juga memprediksi perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan, dengan probabilitas sebesar 40%.

Risiko resesi yang dialami Amerika Serikat tersebut membuat rupiah mampu menguat pagi ini. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri Resesi! IHSG Ambrol 2,6%, Rupiah Tak Mampu Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular