Amerika "Kecanduan" Suku Bunga Rendah, Tahun Depan Resesi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 April 2022 16:55
Salju di Washington,kota  Amerika Serikat
Foto: Salju di Washington, Amerika Serikat (REUTERS/Kevin Lamarque)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak krisis finansial global 2008, perekonomian Amerika Serikat (AS) ditopang dengan kebijakan moneter longgar. Selama kurang lebih 14 tahun sejak krisis finansial global, suku bunga di AS sering berada di kisaran 0% - 0,25%.

Ketika perekonomian mengalami pelambatan bahkan resesi, bank sentral AS (The Fed) akan menurunkan suku bunga hingga menjadi 0% - 0,25%. Saat perekonomian membaik, maka suku bunga akan mulai dinaikkan, atau ke fase normalisasi kebijakan moneter.

The Fed saat ini sudah berada dalam fase tersebut pasca perekonomian AS ambruk akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Pada bulan lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%.

Selain itu, The Fed berencana lebih agresif lagi menaikkan suku bunga di tahun ini guna melandaikan inflasi.

Survei terbaru yang dilakukan Reuters terhadap 102 ekonom pada periode 4 - 8 April menunjukkan 85 orang memproyeksikan suku bunga akan dinaikkan 50 basis poin di bulan Mei. Selain itu 56 orang juga memprediksi The Fed akan melakukan langkah yang sama di bulan Juni.

Jika prediksi tersebut akurat, maka itu akan menjadi kali pertama bagi The Fed menaikkan suku bunga back-to-back 50 basis poin sejak tahun 1994.

James Knightley, kepala ekonomi di ING bahkan memproyeksikan kenaikan 50 basis poin dalam 3 pertemuan beruntun.

"Mendengar komentar-komentar dari pejabat The Fed dan tekanan inflasi yang diteruskan ke perekonomian, kami percaya The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin pada Mei, Juni dan Juli," kata Knightley, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (11/4/2022).

Namun, kali terakhir The Fed menaikkan suku bunga hingga 4 kali di 2018, perekonomian AS mengalami resesi di 2020, meski salah satu faktor utama yakni pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Yang menarik, sebelum mengalami resesi yield obligasi (Treasury) AS mengalami inversi di tahun 2019.

Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi.

Inversi terjadi saat yield obligasi (Treasury) tenor pendek lebih tinggi dari tenor jangka panjang.

Kini inversi antara yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun kembali terjadi pada 31 Maret lalu, tepat saat The Fed mulai menaikkan suku bunga.

Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Para ekonom yang disurvei Reuters pada periode 4 - 8 April juga memprediksi perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan, dengan probabilitas sebesar 40%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Awas Indonesia Bisa Terseret

Amerika Serikat merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ketika mengalami pelambatan atau bahkan sampai resesi maka negara-negara lain akan ikut terseret.

Posisi Amerika Serikat juga cukup penting bagi Indonesia, sebab merupakan mitra dagang terbesar kedua setelah China.

Sepanjang 2021, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar US$ 25,8 miliar, yang berkontribusi 11,75% terhadap total ekspor. Ketika resesi terjadi, permintaan dari negara adidaya tersebut tentunya akan menurun.

Tahun 2020 saat AS mengalami resesi, Indonesia juga ikut menyusul. Tetapi faktor utamanya kala itu yakni pandemi Covid-19. Tidak hanya AS dan Indonesia, banyak negara juga mengalami hal yang sama.

Jika melihat ke belakang, resesi yang dialami AS pada periode 2007 hingga 2009 serta krisis finansial global memang tidak membuat Indonesia mengalami resesi, tetapi cukup membuat produk domestik bruto (PDB) mengalami pelambatan.

Pada kuartal I-2009, PDB Indonesia terjun ke bawah 5% (yoy), dan baru bisa kembali lagi ke atasnya di kuartal IV-2009.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular