
Sudah Jeblok 2% Lebih, Dolar Australia Apa Kabar Hari Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia sudah merosot 4 hari beruntun melawan rupiah hingga Senin kemarin. Padahal pada Selasa pekan lalu nilainya nyaris mencapai Rp 11.000/AU$, yang merupakan level tertinggi sejak Juni 2021. Selama 4 hari, total pelemahan dolar Australia lebih dari 2%.
Sementara pada perdagangan Selasa (12/4/2022) pukul 10:49 WIB, dolar Singapura diperdagangkan di kisaran Rp 10.660/AU$, naik tipis 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Penurunan dolar Australia dalam 4 hari beruntun terjadi akibat munculnya risiko inflasi secara global. Amerika Serikat, negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia sudah menunjukkan sinyal resesi dari inversi yield obligasi (Treasury) tenor 2 tahun dengan 10 tahun.
Selain itu, para ekonom yang disurvei Reuters pada periode 4 - 8 April tersebut juga memprediksi perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan, dengan probabilitas sebesar 40%.
Jika perekonomian Amerika Serikat mengalami resesi, maka ekonomi global juga berisiko terseret yang memberikan dampak negatif bagi dolar Australia yang dianggap risk on currency.
Meski sedang dalam tren menurun sejak pekan lalu, analis dari Westpac Bank, Sean Callow menyarankan strategi buy on dip (beli saat harga turun) pada dolar Australia.
RBA (bank sentral Australia) membuat dolar Australia melesat ke level tertinggi sejak Juni 2021, tetapi kemudian berbalik arah. Kuatnya dolar AS akan membatasi dolar Australia, tetapi untuk beberapa pekan ke depan kami masih buy on dip, puncak dolar Australia masih belum dicapai," kata Callow sebagaimana dilansir Poundsterling Live, Jumat (8/4/202).
Pada pekan lalu, RBA membuat dolar Australia melesat setelah membuka peluang kenaikan suku bunga dalam waktu dekat.
Dalam pengumuman kebijakan moneter Selasa lalu, RBA di bawah pimpinan Philip Lowe masih mempertahankan suku bunga acuannya di rekor terendah 0,1%. Tetapi sikap RBA sudah mulai berubah, Lowe tidak lagi menggunakan kata "sabar".
"Dalam beberapa bulan ke depan, bukti tambahan penting akan tersedia bagi dewan gubernur naik itu inflasi dan perubahan biaya tenaga kerja. Dewan gubernur akan menilai bukti-bukti tersebut dan informasi lainnya untuk menetapkan kebijakan moneter," kata Lowe sebagaimana dilansir Reuters.
Pasar melihat, RBA berpeluang menaikkan suku bunga hingga 200 basis poin di tahun ini. Jika itu terjadi, artinya RBA akan sangat agresif dan tentunya bisa mengerek nilai tukar dolar Australia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Australia Tak Mampu Tembus Rp 10.700/AU$, Ada Apa?
