Para Spekulan Mulai "Buang" Dolar AS, Ada Apa Ini?
Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang kuat-kuatnya belakangan ini. Indeks dolar AS sepanjang pekan lalu menguat lebih dari 1% dan pada perdagangan Senin (11/4/2022) sore ini masih naik tipis 0,04% ke 99,83. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini berada di level tertinggi dalam 2 tahun terakhir.
Bank sentral AS (The Fed) yang akan agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini guna meredam inflasi membuat dolar AS perkasa.
Notula rapat kebijakan moneter edisi Maret yang dirilis Kamis pekan lalu menunjukkan bagaimana agresifnya The Fed akan bertindak. Tidak hanya akan menaikkan suku bunga, neraca (balance sheet) The Fed juga akan dikurangi dengan nilai yang jumbo. Dengan mengurangi nilai neraca, artinya The Fed akan melepas obligasi pemerintah dan efek beragun aset yang dimiliki, sehingga bisa menyerap likuiditas.
The Fed pada bulan lalu menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%, dan masih akan menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini. Bahkan, pada bulan depan suku bunga diperkirakan naik 50 basis poin, sesuatu yang sangat jarang terjadi.
Selain itu, nilai neraca yang saat ini nyaris US$ 9 triliun akan dikurangi US$ 95 miliar per bulan, dengan rincian obligasi (US$ 60 miliar) dan efek berangun aset (US$ 35 miliar).
Pengurangan nilai neraca tersebut nilainya dua kali lipat ketimbang yang dilakukan pada tahun 2017 - 2019.
Alhasil, indeks dolar AS sepanjang pekan lalu menguat lebih dari 1% dan hingga sore ini masih naik tipis 0,04% ke 99,83.
Meski The Fed akan agresif dalam menormalisasi kebijakannya di tahun ini, tetapi para pelaku pasar justru mengurangi kepemilikan dolar AS. Hal tersebut terlihat dari posisi spekulatif dolar AS berdasarkan data Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang dirilis Jumat pekan lalu.
Data tersebut menunjukkan pada pekan yang berakhir 5 April posisi beli bersih (net long) dolar AS mengalami penurunan nyaris US$ 2 miliar menjadi US$ 14,13 miliar. Penurunan tersebut merupakan yang pertama setelah naik selama 5 pekan.
Posisi spekulatif tersebut merupakan dolar AS melawan yen Jepang, euro, poundsterling, franc, dolar Kanada serta dolar Australia.
Berkurangnya posisi spekulatif tersebut menjadi indikasi meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, tetapi sebagian pelaku pasar melihat dolar AS tidak akan menguat terlalu jauh.
Salah satu sebabnya adalah risiko resesi yang dihadapi Amerika Serikat. Ketika The Fed agresif menaikkan suku bunga, ekspansi dunia usaha kemungkinan akan melambat.
Di sisi lain, inflasi di Amerika Serikat saat ini berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Ketika ekspansi dunia usaha melambat, sementara inflasi masih tinggi, maka risiko resesi pun mengancam.
Tanda-tanda akan terjadinya resesi terlihat dari inversi yang terjadi antara yield obligasi (Treasury) tenor 2 tahun dan 10 tahun.
Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi.
Hal tersebut membuat yield obligasi jangka pendek menanjak hingga lebih tinggi dari tenor jangka panjang, yang disebut sebagai inversi.
Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Inversi yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Yield Treasury AS kembali mengalami inversi pada Kamis (31/4/2022) lalu, dan setelahnya para spekulan memangkas posisi net long dolar AS.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Spekulan Berbalik Beli Rupiah
(pap/pap)