
Perang Ukraina Bikin Ekonomi Asia Goyang, Termasuk RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkatan internasional, Fitch Solution, menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia akan tertahan karena terdampak oleh perang yang sedang meletus di Ukraina.
Dalam Asian Monthly Outlook edisi Maret 2022, Fitch merevisi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia menjadi 4,7% setelah memperhitungkan dampak yang timbul akibat perang, dari semula diproyeksi dapat tumbuh 4,9%.
Fitch juga menyebut bahwa hal tersebut dapat terjadi karena mereka percaya bahwa negara-negara Barat akan tetap menerapkan sanksi ekonomi kepada Rusia sepanjang tahun 2022 atau bahkan dapat diperketat. Hal ini pada akhirnya turun mempengaruhi kondisi ekonomi wilayah Asia.
Penurunan yang relatif signifikan ini terjadi meski sebagian besar negara Asia tidak terekspos secara luas dalam perdagangan langsung ke Rusia dan Ukraina.
Mongolia merupakan negara dengan hubungan dagang tererat, yang mana total perdagangan dengan Rusia dan Ukraina nilainya mencapai lebih dari 10% GDP.
Sementara itu, Indonesia dan negara Asia lainnya memiliki nilai perdagangan kurang dari 2% GDP.
Meski tidak mencederai secara langsung jika dilihat dari hubungan dagang, ancaman perang di Eropa Timur datang dalam bentuk lain dan siap menekan ekonomi benua terbesar di dunia.
Manufaktur tertekan
Pertama adalah sektor manufaktur yang diperkirakan akan terpukul karena Rusia dan Ukraina merupakan produsen utama barang mentah dan akan membutuhkan waktu untuk memperbaiki rantai pasok agar tidak terjadi gangguan lebih lanjut.
Rusia merupakan produsen utama paladium dengan lebih dari 40% pasokan global berasal dari negeri Beruang Merah. Tidak hanya itu beberapa komoditas lain juga bergantung ke sana termasuk Nikel (>20%), Platina (>10%) hingga minyak dan aluminium (masing-masing nyaris 10%).
Walaupun hanya Mongolia yang paling bergantung pada minyak Rusia (>80% impor), dengan negara lain nilainya kurang dari 15%, akan tetapi karena sebagian besar negara Asia sangat bergantung pada impor minyak, kenaikan harga ikut menjadi pukulan berat - dari negara mana pun minyak diperoleh.
Bersama dengan Ukraina, Rusia juga menjadi pemasok utama untuk gandum (>25%) dan jagung serta pupuk, yang masing-masing berkontribusi nyaris 20%.
Harga minyak yang tinggi pada akhirnya ikut menekan neraca transaksi berjalan bagi negara pengimpor minyak.
Kondisi paling akut dirasakan oleh Pakistan dan Sri Lanka karena keduanya sebelumnya telah mencatatkan defisit dan nilainya diperkirakan akan bertambah akibat perang yang mengerek harga minyak dunia. Defisit transaksi berjalan Indonesia juga diperkirakan akan naik karena tingginya harga minyak dunia.
Inflasi siap mengguncang Asia
Biaya produksi yang lebih tinggi dan inflasi atas barang konsumsi diperkirakan Fitch akan merusak profitabilitas produsen dan daya beli konsumen.
Inflasi yang meningkat di negara-negara seperti Sri Lanka, Pakistan, India, dan Thailand dapat menimbulkan respons kebijakan yang lebih hawkish dari bank sentral.
Sebelum perang berkecamuk, inflasi pada dua bulan pertama tahun 2022 secara tahunan (yoy) di Sri Lanka dan Pakistan mencapai 12% lebih. Angka ini diprediksi dapat naik untuk beberapa bulan ke depan.
Hal ini karena ekonomi di negara berpenghasilan rendah dan menengah kemungkinan akan lebih terpapar, mengingat makanan dan transportasi menyumbang lebih dari 50% dari indeks harga konsumen (CPI).
Perlambatan ekonomi negara Barat tekan ekspor
Dampak dari perang dan inflasi yang tak kunjung turun di negara Barat ikut membuat Fitch menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS menjadi 3,1% dari 3,5% dan kawasan euro menjadi 3,4% dari semula 4,0%.
Turunnya pertumbuhan ekonomi dari dua wilayah dengan GDP raksasa tentu akan mempengaruhi ekonomi negara lain, seperti turunnya permintaan barang dan jasa dari kawasan Asia. Hal ini karena banyak negara yang memiliki hubungan dagang signifikan dengan dua ekonomi raksasa tersebut.
Vietnam dan Kamboja merupakan negara yang akan terdampak paling parah karena nilai ekspor ke dua kawasan tersebut nyaris mencapai 40% dari GDP. Selanjutnya adalah Malaysia yang nilainya hampir mendekati 20%. Adapun Indonesia sendiri, ekspor ke AS dan kawasan euro tidak mencapai 5% dari total GDP.
Pertumbuhan ekonomi negara Asia terpangkas
Sebagian besar ekonomi di kawasan Asia, pertumbuhannya dipangkas mulai dari ekonomi raksasa China dan India hingga yang jauh lebih kecil seperti Mongolia dan Sri Lanka.
Tahun ini ekonomi India diprediksi tumbuh 7,5% turun dari konsensus awal 7,8% akibat terbebani oleh harga minyak mentah yang lebih tinggi dengan defisit fiskal tahun ini diprediksi menyentuh 6,4%.
Harga komoditas juga ikut menekan ekonomi China yang pertumbuhannya terpangkas menjadi 5,2% dari proyeksi awal 5,4%. Selain itu meluasnya kasus infeksi baru ikut menjadi poin penting lainnya.
Ekonomi lain yang rentan jika ekonomi dunia melambat adalah Singapura. Karena sistem ekonominya yang terbuka, Fitch memangkas pertumbuhannya menjadi 3,0% dari semula 3,6% karena khawatir melemahnya ekonomi raksasa, khususnya China, akan menjadi pukulan berat bagi Singapura.
Jika sebagian besar negara Asia pertumbuhannya terpangkas, Fitch malah menaikkan prediksi pertumbuhan ekonomi Malaysia menjadi 5,6% dari semula 5,5%.
Optimisme ini merupakan cerminan dari kenaikan harga produk minyak bumi dan kelapa sawit yang menguntungkan Malaysia, yang mana akan membantu perkuatan kondisi fiskal dan neraca dagang.
Australia juga merupakan negara yang diperkirakan mendapat keuntungan lebih akibat meroketnya harga energi dan komoditas. Fitch memprediksi GDP Australia berada di angka 4,4%, naik dari proyeksi awal di level 4,3%.
Meski sama-sama berada dalam bisnis jual beli hasil bumi seperti Malaysia dan Australia, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dipangkas maupun dinaikkan. Fitch memprediksi ekonomi Indonesia tahun 2022 dapat tumbuh 4,4%.
Hal ini salah satunya karena meski Indonesia merupakan eksportir komoditas utama yang harganya melonjak, di sisi lain Indonesia juga harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mengimpor minyak bumi.
![]() Revisi Pertumbuhan Ekonomi Asia |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi RI Masih Dianggap Oke, Fitch Beri Label BBB
