
The Fed Makin Galak, Tapi Rupiah Cuma Melemah Tipis

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berfluktuasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (7/4/2022), sebelum akhirnya melemah tipis. Indeks dolar AS yang terus menanjak membuat rupiah kesulitan menguat.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di Rp 14.355/US$, sebelum akhirnya menguat 0,07% ke Rp 14.245/US$. Tetapi tidak lama rupiah kemudian berbalik melemah, meski tipis juga di Rp 14.362/US$.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.358/US$, melemah tipis 0,02% di pasar spot.
Indeks dolar AS yang terus melesat dalam 5 hari terakhir hingga mendekati level 100, tertinggi dalam 2 tahun terakhir, membuat rupiah kesulitan menguat.
Perkasanya dolar AS tersebut ditopang ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed (bank sentral AS) sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1% pada bulan depan. Peluang kenaikan tersebut diperkuat oleh pernyataan-pernyataan para pejabat elit The Fed yang mendukung kenaikan agresif guna meredam inflasi.
Notula rapat kebijakan moneter edisi Maret dini hari tadi juga menunjukkan hal tersebut, ditambah dengan kemungkinan pengurangan nilai neraca yang besar. Notula tersebut mengungkap jika para pejabat The Fed umumnya setuju untuk mengurangi neraca senilai US$ 95 miliar per bulan dan mulai dilakukan bulan Mei.
Pengurangan nilai neraca tersebut artinya The Fed akan melepas obligasi (US$ 60 miliar) dan efek berangun aset (US$ 35 miliar) yang dimiliki, sehingga likuiditas di pasar akan terserap. Pengurangan nilai neraca tersebut nilainya dua kali lipat ketimbang yang dilakukan pada tahun 2017 - 2019, yang menunjukkan The Fed sangat agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan cadangan devisa di bulan Maret turun cukup besar, US$ 2,3 miliar menjadi US$ 131,9 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut merupakan yang terendah sejak Juli 2021.
Menurut BI salah satu penyebab penurunan cadangan devisa yakni pembayaran utang pemerintah. Sejak pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, yang pemerintah memang terus meningkat.
Berdasarkan laporan APBN KiTa edisi Maret 2022, utang pemerintah tercatat Rp 7.014,58 triliun atau setara 40,17% dari produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan jenisnya, utang pemerintah didominasi oleh instrument obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 87,88% dari seluruh komposisi utang per akhir Februari 2022. Atau sebesar Rp 6.164,2 triliun. Berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh rupiah yakni 70,07%.
Di balik menggunungnya utang Indonesia, ada sedikit kabar baiknya. Kepemilikan asing atas SBN mengalami penurunan tajam. Pada tahun 2019, asing tercatat memiliki 38,57% dari total SBN. Persentase tersebut menurun drastis menjadi 19,05% di akhir 2021, dan kini turun lagi menjadi sekitar 18% saat ini.
Dengan berkurangnya kepemilikan asing tersebut, maka jika terjadi capital outflow dari pasar obligasi akibat kenikan suku bunga The Fed (bank sentral Amerika Serikat), tentunya tidak akan besar. Sehingga, intervensi yang akan dilakukan BI juga tidak akan besar yang bisa menghemat cadangan devisa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Tetap Tegas, Rupiah Tetap Liar!
