Naik Tiga Pekan Beruntun, IHSG Buka Peluang Tembus 7.100
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tampil impresif di pekan ini, dengan dua kali memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa. IHSG juga sukses mempertahankan tren penguatan menjadi 3 pekan beruntun.
Sentimen penggerak datang dari dalam dan luar negeri, tetapi nasib berbeda didapat rupiah dan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) yang justru melemah di pekan ini.
Melansir data Refinitiv, IHSG sepanjang pekan ini tercatat menguat 1,09% ke 7.078,76 yang merupakan penutupan tertinggi sepanjang masa. Sementara untuk rekor tertinggi berada di 7.099,497 yang dicapai pada Kamis (31/3/2022), memecahkan rekor sebelumnya yang dicapai hari Selasa.
Dalam 5 hari perdagangan, investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih sebesar Rp 4,6 triliun di pasar reguler, nego dan tunai.
Jika di pasar saham terjadi capital inflow, nasib berbeda dialami pasar obligasi yang kemungkinan terjadi outflow. Sebab SNB semua tenor mengalami pelemahan, terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang mengalami kenaikan.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat yield naik artinya harga sedang turun, begitu juga sebaliknya. Saat harga obligasi turun artinya ada aksi jual, sehingga kemungkinan terjadi capital outflow.
Pelemahan SBN tersebut menjadi salah satu yang membebani rupiah di pekan ini. Mata uang Garuda tercatat melemah tipis 0,17% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.365/US$.
Tekanan pada SBN terjadi akibat menguatnya ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1% pada bulan depan. Rupiah juga tertekan akibat ekspektasi tersebut.
Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang terus menanjak membuat pelaku pasar melihat ada probabilitas lebih dari 70% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin.
Departemen Tenaga Kerja AS Kamis lalu melaporkan inflasi PCE bulan Februari tumbuh 6,4% (year-on-year/yoy) dari bulan sebelumnya 6% (yoy). Sementara inflasi inti PCE tumbuh 5,4% (yoy) lebih tinggi dari bulan Januari 5,2% (yoy), tetapi lebih rendah dari hasil polling Reuters 5,5% (yoy).
Masih dari eksternal, China juga memberikan kabar kurang sedap. Data dari pemerintah China yang dirilis Kamis lalu menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur bulan Maret sebesar 49,5, turun dari bulan sebelumnya 50,2 dan lebih rendah dari prediksi ekonomi sebesar 49,7.
PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi sementara di atas 50 artinya ekspansi. Kontraksi yang dialami tersebut menjadi yang pertama dalam 5 bulan terakhir.
Dari dalam negeri, S&P Global melaporkan PMI manufaktur di bulan Maret tercatat sebesar 51,3, naik dari sebelumnya 51,2. Kenaikan tersebut menjadi kabar bagus, yang menjadi indikasi roda perekonomian berputar lebih kencang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi Indonesia periode Maret 2022. Hasilnya tidak jauh dari ekspektasi.
Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan inflasi Indonesia pada Maret 2022 tercatat 0,66% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jauh lebih tinggi ketimbang Februari 2022 di mana terjadi inflasi -0,02% alias deflasi. Inflasi 0,66% tersebut adalah yang tertinggi sejak Mei 2019.
Sementara dibandingkan Maret 2022 (yoy), laju inflasi adalah 2,64%. Juga terakselerasi dari Februari 2022 yang 2,06% (yoy).
Inflasi inti dilaporkan tumbuh 2,37% (yoy) lebih tinggi dari hasil polling Reuters sebesar 2,21%, dan jauh lebih tinggi dari bulan Februari 2,03%.
Kenaikan inflasi inti tersebut memperkuat ekspektasi Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga di semester II-2022. Sayangnya, masih belum mampu mendongkrak kinerja SBN dan rupiah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> IHSG Bisa Cetak Rekor Lagi?
(pap)