
Ini Dua 'Fitnah' terhadap Saham-Saham Sektor Teknologi

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham teknologi dunia tengah terkoreksi menyusul kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS). Di situasi demikian, dua pandangan keliru sering mengemuka dalam memandang prospek saham sektor masa depan tersebut.
Saham teknologi yang semula menjadi idaman banyak orang dan merupakan mesin uang bagi pemodal ventura, sedang kesusahan. Harga saham mereka tergerus sejak bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengurangi kebijakan moneter ekstra longgar.
Perlahan kinerja saham teknologi mulai turun, setelah sebelumnya pada masa pandemi mengalami kenaikan signifikan. Pengetatan kebijakan moneter The Fed merupakan sinyal bahwa tidak ada lagi banjir dana di pasar modal yang menjadi sumber pendanaan obligasi emiten teknologi.
Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, perusahaan rintisan (startup) yang baru masuk bursa atau yang belum mencapai profitabilitas ikut terpukul. Perusahaan startup raksasa dunia yang sukses meraup dana fantastis tahun lalu, kapitalisasi pasarnya justru terus menyusut.
Contoh terdekat adalah unicorn PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang memegang rekor perolehan dana terbesar lewat penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) Rp 22 triliun. Setelah sempat di zona hijau pasca-listing, harganya kian tertekan hingga kapitalisasi pasarnya kini drop 50%.
Di Asia, e-commerce asal Korea Selatan yang disokong SoftBank, Coupang, mencetak IPO fantastis dan meraup US$ 4,6 miliar di bursa New York (NYSE). Ia menjadi perusahaan Asia yang meraih dana IPO terbesar kedua setelah Alibaba, dengan valuasi mencapai US$ 60 miliar.
Selanjutnya dari China ada Didi, perusahaan yang digadang-gadang merevolusi sektor transportasi di China. Meski meraup dana IPO hingga US$ 4,4 miliar dengan valuasi US$ 73 miliar, harganya jatuh bebas setelah pemerintah China menyoroti persoalan keamanan data.
Perusahaan Singapura yang beroperasi di Indonesia juga mengalami hal serupa. Grab yang tidak memilih jalur penawaran tradisional dan menggunakan perusahaan 'cek kosong' (SPAC), kinerja sahamnya juga mengecewakan.
Perusahaan tercatat telah kehilangan 70% kapitalisasi pasarnya dan terancam dituntut oleh para investor melalui class action karena dianggap 'menyesatkan' investor terkait pembukaan data dan informasi penting perusahaan.
Selain itu beberapa perusahaan besar asal AS yang digadang-gadang menjadi calon raksasa baru ternyata kinerja sahamnya juga melempem, di antaranya Robinhood, emiten pemesanan katering online DoorDash dan emiten pergudangan berbasis komputasi awan Snowflake.
![]() |
Kinerja negatif nyaris dirasakan oleh semua perusahaan startup yang melakukan IPO dalam 2 tahun terakhir, dari Uber, Lyft, hingga WeWork sahamnya masih tercatat tumbuh negatif sejak pertama diperdagangkan publik.
Tidak heran kita terkadang mendengar pendapat mengenai "kiamat sektor teknologi" tahun ini yang akan memukul kinerja semua saham di sektor tersebut. Dua 'fitnah' yang keliru tersebut muncul karena penyimpulan gegabah dan secara bersamaan bersifat menggeneralisir.
Pertama, harus dipahami bahwa kinerja negatif di bursa saham tidak hanya dirasakan oleh mereka yang masuk di sektor teknologi, melainkan juga menimpa nyaris semua sektor. Pun jika kita bicara saham di sektor teknologi, tak semuanya tertekan. Dua poin ini sering disalahpahami.
Tengok saja bursa AS (Wall Street), yang sejauh ini merekam hanya tiga dari 11 sektor saham yang berkinerja positif, yakni sektor energi, utilitas, dan keuangan. Sepanjang 2022, indeks saham sektor energi naik 38%, indeks sektor utilitas lompat 2,3% dan sektor keuangan tumbuh 1%.
Saham energi dan utilitas melonjak akibat kenaikan harga komoditas batu bara dan minyak (akibat konflik Rusia-Ukraina). Sebagai catatan, Rusia adalah negara produsen minyak mentah terbesar ketiga dunia setelah AS dan Arab Saudi.
Di sisi lain, saham sektor perbankan menguat karena tidak terlalu terkena dampak negatif kenaikan suku bunga acuan The Fed (Fed Funds Rate/FFR), sekalipun bank-bank raksasa telah menyampaikan prospek kinerja yang kurang menarik dalam rilis proyeksi keuangan (earnings call) belum lama ini.
Secara bersamaan delapan indeks sektoral lain di S&P 500 melemah. Pemimpinnya bukanlah saham sektor teknologi, melainkan sektor layanan komunikasi yang anjlok 11% sepanjang tahun, diikuti sektor properti (-7,9%). Sektor teknologi berada di posisi ketiga dengan koreksi 7,7%.
![]() |
Koreksi berjamaah terjadi karena investor kompak menjual saham yang kinerja fundamentalnya memang tertekan oleh pandemi seperti saham sektor manufaktur dan material. Namun demikian, koreksi saham teknologi lebih diperhatikan karena sebelumnya mereka dikenal tahan pandemi.
Ketika terjadi pembatasan sosial (lockdown) pada 2019-2020, perusahaan teknologi justru menawarkan solusi untuk tetap beraktivitas secara online, sehingga mencetak kenaikan pengguna dan kinerjanya pun bertumbuh seperti Zoom, Netflix, hingga Amazon.
Hanya saja, reli saham berbasis pertumbuhan (growth stocks) tersebut berbalik menjadi koreksi setelah suku bunga acuan naik, yang bakal mendera arus kas mereka karena karakteristik emiten teknologi di AS memang rakus menerbitkan surat utang untuk membiayai ekspansi.
Dengan demikian, koreksi bukan semata dialami saham teknologi. Bahkan, di antara mereka ada perusahaan teknologi yang baru menawarkan sahamnya ke publik dan mampu melawan 'kutukan' kinerja saham buruk tahun ini dengan tetap melaju ke zona hijau.
Lalu seperti apa perusahaan teknologi yang sahamnya resilien pasca-pandemi? Mari kita cek. Ada emiten pemilik sosial media Snap menguat terhitung melesat 30,7% sejak IPO pada 2017. Harga saham penyedia layanan jasa penginapan Airbnb juga menguat 20% di atas level IPO pada 2020.
Secara tahun berjalan (year to date/YTD) saham Airbnb terhitung lebih resilien dari Snap dengan terkoreksi hanya 2,9%, sementara Snap anjlok 22%. Hal ini menunjukkan bahwa investor memandang Airbnb lebih prospektif ketimbang Snap, meski memikul rugi bersih jauh lebih besar.
Saat pandemi menekan kinerja emiten perhotelan, Airbnb tetap pede mencatatkan sahamnya. Pada 2020, rugi bersih perseroan mencapai US$ 4,6 miliar (Rp 66 triliun), memburuk dari rugi bersih 2019 senilai US$ 674 juta (sekitar Rp 10 triliun), dan dari posisi 2018 (US$ 17 juta).
Namun kini investor lebih memilih berinvestasi di saham Airbnb ketimbang Snap karena ia berada di sektor yang memasuki pemulihan. Prospek pemesanan penginapan ini kian cerah setelah risiko terburuk pandemi dinyatakan usai.
![]() |
Ini menjelaskan kenapa raksasa ekosistem digital nasional PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk juga percaya diri listing di kala pasar seperti sekarang.
Layaknya Airbnb yang layanannya unik, GoTo memiliki value yang tak dimiliki perusahaan lain yakni ekosistem lengkap: e-commerce, pemesanan layanan digital segalarupa (on-demand services) dan jasa keuangan.
Di Indonesia, IPO GOTO menjadi momentum penguatan saham teknologi, seperti terlihat dari unicorn pertama yang tercatat di bursa Tanah Air, yakni BUKA. Meski sepanjang tahun berjalan masih terhitung minus 20%, saham perseroan melesat 11,61% sepanjang pekan ini di Rp 346/saham per 29 Maret.
Dalam riset berjudul "Underapreciated by Investors: Keep Buy", PT RHB Sekuritas Indonesia menilai pelaku pasar belum menangkap nilai positif saham BUKA pasca-sinergi dengan memiliki 11,49% saham PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI).
"Investasi ini bermanfaat bagi BUKA karena membantu membuka nilai yang bisa diraih dari berbagai ekosistem [di Allo Bank] serta memperkuat kemampuan pembiayaannya," tulis analis RHB Sekuritas Indonesia Shelly Setiadi, dalam riset yang dirilis Selasa (29/3/2022).
Perusahaan sekuritas asal Malaysia tersebut pun merekomendasikan beli saham BUKA dengan target harga Rp 900/saham, yang mencerminkan potensi penguatan sebesar 160% dalam 12 bulan ke depan.
Tak hanya BUKA, saham emiten teknologi lainnya seperti PT Galva Technologies Tbk (GLVA) sepekan menguat 6,30% di Rp 270 dan PT Zyrexindo Mandiri Buana Tbk (ZYRX) naik 2,7% di Rp 565, dan PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS) naik 2,37% di Rp 432/saham, per penutupan pasar 29 Maret.
Analisis RHB tersebut menunjukkan bahwa prospek saham perusahaan teknologi, terutama startup, tidak bisa diukur dengan pendekatan fundamental sederhana yakni laba-rugi. Startup yang rugi karena membangun ekosistem tak bisa disamakan dengan perusahaan yang diam.
Ibaratnya, petani yang masih rugi karena mengeluarkan belanja besar untuk membuka lahan pertaniannya tentu tak bisa disamakan dengan petani lain yang mencetak laba hanya dari sepetak tanah. Future value menjadi pertimbangan utama dalam trading saham demikian.
Harus diingat juga bahwa perusahaan-perusahaan digital ini bukan sekadar perusahaan online semata, melainkan mereka juga menyediakan produk dan layanan yang digunakan sebagai bagian dari hajat hidup orang banyak.
Melihat proyeksi Yahoo Finance, banyak perusahaan digital yang dinilai memiliki tren bearish dalam jangka pendek (2-6 minggu), termasuk perusahaan penyedia layanan on-demand, ride-hailing, dan e-commerce.
Namun itu tak berlaku rata. Saham-saham seperti Uber, Airbnb, Grab, Alibaba, Sea Group, dan Lyft, semua memiliki tren bullish dalam jangka pendek.
Oleh karenanya, terlalu mengada-ada jika saham teknologi dinilai akan mencapai kiamat. Justru, bila diperhatikan, ada prospek pertumbuhan yang tercermin dari nilai future value serta valuasi masa depan yang ditetapkan, baik oleh perusahaan masing-masing, maupun para analis.
Di tengah teriakan perusahaan-perusahaan sedang merugi, mereka justru diam-diam memperkuat pasarnya, merebut kepercayaan masyarakat, dan bertumbuh pesat, seiring semakin banyak orang menggunakan produk dan layanannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mengecewakan! Saham Teknologi di Asia Babak Belur di 2021