Sentimen Rupiah Membaik, Dolar AS Hadapi Risiko Resesi!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 March 2022 17:25
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen pelaku pasar terhadap rupiah membaik dua pekan terakhir meski bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini. Hal ini bisa menjadi indikasi rupiah akan cukup kuat menghadapi tekanan dari dolar AS.

Membaiknya sentimen terhadap rupiah terlihat dari survei 2 mingguan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis hari ini Kamis (25/3/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di 0,04 membaik dari dua pekan lalu 0,49.

Jika dibandingkan mata uang Asia lainnya yang masuk dalam survei, rupiah hanya kalah dari yuan China dengan angka -0,18%.

Menurut Reuters, rupiah sebagai eksportir komoditas diuntungkan dengan tingginya harga minyak mentah saat ini. Begitu juga dengan komoditas ekspor andalan Indonesia, batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Harga batu bara meski belakangan ini merosot, tetapi sejak akhir 2021 masih melesat lebih dari 80%, begitu juga dengan CPO lebih dari 25%. 

Kenaikan harga komoditas tersebut membuat neraca perdagangan Indonesia mampu mencetak surplus selama 22 bulan beruntun yang membantu transaksi berjalan (current account) mencatat surplus di tahun 2021 lalu, menjadi yang pertama dalam 10 tahun terakhir.

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) lainnya, yakni transaksi modal dan finansial.

Jika transaksi berjalan mampu mempertahankan surplusnya di kuartal I-2022 atau bahkan di tahun ini, bukan tidak mungkin akan berbalik menguat melawan dolar AS.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ada Risiko Resesi, Dolar AS Tak Mampu Digdaya!

Rupiah pada perdagangan hari ini mencatat penguatan tipis 0,03% melawan dolar AS ke Rp 14.340/US$. Selain itu, rupiah juga sudah menguat 3 hari beruntun, padahal semakin banyak muncul dukungan bagi bank sentral AS (The Fed) untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Mei.

Data terbaru juga mendukung hal tersebut. Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan klaim awal tunjangan pengangguran pada pekan lalu sebanyak 187.000 orang, menjadi yang terendah sejak September 1969.

Data tersebut menunjukkan pasar tenaga kerja Amerika Serikat sangat kuat, yang bisa meyakinkan anggota The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih agresif lagi di tahun ini.
Seperti diketahui, belakangan ini banyak pejabat The Fed yang buka suara terkait kenaikan suku bunga 50 basis poin.

"Saya punya semua untuk didiskusikan saat ini. Jika kami perlu menaikkan 50 basis poin, maka kami akan melakukannya. Dengan pasar tenaga kerja yang kuat, inflasi, inflasi, dan inflasi menjadi prioritas utama The Fed," kata Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly dalam sebuah acara yang diadakan Bloomberg, sebagaimana dilansir Reuters Kamis (24/3).

Fed Daly selama ini dikenal sebagai pejabat elit The Fed yang lebih berhati-hati untuk menaikkan suku bunga. Pernyataannya yang siap menaikkan sebesar 50 basis poin menjadi indikasi kuat jika The Fed akan melakukannya di bulan Mei.

Presiden The Fed Cleveland, Loretta Mester juga mengatakan hal yang senada.

"Saya lebih suka melakukan front-loading. Posisi kita akan semakin baik jika kita melakukan lebih awal ketimbang di semester II-2022," kata Mester.

Mester ingin suku bunga The Fed di akhir tahun ini berada di 2,5%, artinya ia akan memilih untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin sebelum akhir kuartal II-2022.
Presiden The Fed St. Louis, James Bullard menjadi yang paling bullish. Bullard pada pekan lalu sebenarnya memilih kenaikan sebesar 50 basis poin, dan menginginkan di akhir tahun nanti suku bunga mencapai 3%.

Ketua The Fed, Jerome Powell juga menyatakan kesiapannya untuk bertindak lebih agresif.

"Kami akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas harga. Secara khusus, jika kami menyimpulkan kenaikan suku bunga lebih dari 25 basis poin tepat dilakukan, kami akan melakukannya. Dan jika kami memutuskan perlu melakukan pengetatan di luar dari kebiasaan yang normal, kami juga akan melakukannya," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (22/3/2022).

Meski sudah mendapat banyak dukungan, tetapi kenaikan suku bunga yang agresif dikhawatirkan memicu resesi, yang membuat dolar AS belum mampu menguat tajam. Triliuner Carl Icahn memberikan peringatan tersebut.

"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3).

Icahn mengatakan inflasi yang sangat tinggi menjadi ancaman bagi utama bagi perekonomian, dan Perang Rusia - Ukraina menambah ketidakpastian yang ada.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular