
Waspada! Pasar Obligasi Domestik Mulai Terdampak The Fed

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) resmi menaikan suku bunga acuannya untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga tahun terakhir atau sejak tahun 2018, pasar obligasi pemerintah Indonesia cenderung mencatatkan kinerja kurang baik.
Dari pergerakan imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) bertenor 10 tahun, sepanjang tahun ini sudah menguat hingga 34,1 basis poin (bp) ke level 6,717% per Kamis (24/3/2022) kemarin, dari sebelumnya dari posisi akhir tahun lalu di level 6,376%.
Hal ini menandakan bahwa harga SBN sepanjang tahun ini cenderung melemah dan menandakan pula bahwa investor masih cenderung melepasnya. Pergerakan yield dengan harga berbanding terbalik, jika yield menguat, maka harga pun melemah, demikian sebaliknya.
Sebagai informasi, SBN bertenor 10 tahun merupakan SBN acuan negara. Tak hanya di Indonesia saja, mayoritas negara luar menjadikan SBN bertenor 10 tahun sebagai acuan dasar untuk mengukur kinerja SBN dari pergerakan yield.
Sementara itu dari arus modal asing, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat dari posisi akhir tahun lalu hingga 23 Maret, tercatat ada arus modal asing yang keluar atau capital outflow di pasar SBN sebesar Rp 30,37 triliun.
Padahal sepanjang Februari lalu, pasar SBN sempat membukukan inflow sebesar Rp 9,35 triliun. Namun, inflow yang tercatat di bulan lalu tidak dapat merubah posisi outflow asing sepanjang tahun ini.
Kembali dari pergerakan yield-nya, selisih (spread) antara yield SBN bertenor 10 tahun dengan yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) dengan tenor yang sama makin menyempit, di mana spread antara keduanya per Kamis kemarin mencapai 431,11 bp.
Padahal pada awal Maret lalu, selisih keduanya masih cukup lebar, yakni mencapai 491,16 bp.
Jika dibandingkan dengan yield SBN dan yield US Treasury selain tenor 10 tahun, selisihnya juga berkisar di 400 bp. Hanya yield bertenor 1 dan 5 tahun yang selisihnya masih di bawah 400 bp.
![]() |
Sementara itu dari sisi persepsi investor terhadap risiko investasi di Indonesia mengalami kenaikan dan mulai mendekati level 100. Per Kamis kemarin, premi credit default swap (CDS) bertenor 5 tahun naik menjadi 98,04.
Meski masih cenderung naik, tetapi tren CDS sekitar dua pekan terakhir mengalami penurunan. Adapun pada 8 Maret lalu, CDS RI sempat melonjak dan menyentuh level 126,48, menjadi yang tertinggi dalam setahun terakhir.
Kenaikan premi CDS tersebut cenderung membuat investor asing untuk melepas SBN atau surat utang negara (SUN).
CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debitornya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.
Biasanya, ketika CDS naik maka harga SBN akan turun. Hal ini memang benar-benar terjadi karena sepanjang tahun ini saja, harga SBN memang dalam tren menurun.
Meski pasar SBN cenderung terpengaruh dari kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), tetapi kinerjanya dalam sepekan terakhir masih cukup baik, meski sejatinya, pergerakan harga dan yield SBN masih cenderung berfluktuasi.
The Fed pada pekan lalu resmi menaikan suku bunga acuannya untuk pertama kalinya sejak tahun 2018. Meski suku bunga acuannya sudah dinaikan, tetapi pasar dalam beberapa hari terakhir tidak terlalu khawatir karena kenaikannya sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya.
The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp), sehingga Fed Fund Rate target sekarang berada di kisaran 25-50 bp.
Namun, dengan masih adanya potensi inflasi global yang meninggi membuat Ketua The Fed, Jerome Powell kedepannya akan lebih agresif untuk mengekang inflasi di AS.
Ketika sikap The Fed makin agresif, ada risiko bahwa outflow di SBN akan semakin membesar dan tentunya hal ini merugikan pasar SBN RI.
Tetapi, risiko capital outflow asing di SBN diprediksi masih cenderung lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2013, tahun 2015, ataupun tahun 2018 silam. Hal ini karena investor asing menilai bahwa fundamental Indonesia masih cukup bagus.
Selain itu, kepemilikan asing saat ini yang berada di bawah 20%, maka risiko outflow asing di SBN juga masih cenderung lebih kecil.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Sebut Yield SBN Masih Menarik, Ini Buktinya