Aroma Cuan Tercium, Siap-siap Rotasi Sektoral Dimulai
Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu strategi yang umum digunakan dalam berinvestasi adalah sector rotation atawa rotasi sektoral. Lewat strategi ini, investor dapat mendapatkan return di setiap siklus perekonomian yang sedang berlangsung.
Biasanya perilaku investor akan cenderung pro-siklikal dengan tetap mempertimbangkan aspek forward looking dalam mengatur portofolio investasinya.
Saat kondisi ekonomi sedang lesu misalnya, investor akan cenderung berinvestasi di sektor-sektor yang defensif. Namun saat ekonomi sedang pada fase booming, para pemodal akan cenderung lebih agresif mengambil risiko.
Di Indonesia, khususnya di pasar saham, rotasi sektoral sangat terlihat sejak pandemi Covid-19 terjadi. Adanya pembatasan aktivitas sosial membuat saham-saham yang berbasis teknologi seperti perbankan digital menjadi primadona.
Penetrasi internet dan melesatnya transaksi uang elektronik turut mengerek kinerja harga saham-saham perbankan yang getol bertransformasi menjadi digital bank.
Tahun 2020-2021 menjadi fase di mana saham-saham bank digital memimpin dari sisi return. Bahkan saham-saham bank mini yang jadi digital bank memberikan cuan sampai ratusan hingga ribuan persen.
Kemudian saat stimulus fiskal dan moneter bekerja, berbagai insenstif sudah diberikan pemerintah serta otoritas terkait, ekonomi tampak mulai berpijak lebih kokoh.
Hanya saja perbaikan dari segi demand tidak diikuti kecukupan pasokan terutama dari sisi energi sehingga membuat harga komoditas seperti minyak, batu bara dan gas melambung tinggi.
Kenaikan harga komoditas energi juga semakin pesat seiring dengan meletusnya perang Rusia dan Ukraina sebagai dua negara produsen energi terbesar di Eropa.
Peningkatan harga energi global menjadi katalis positif bagi kinerja keuangan maupun saham-saham berbasis komoditas terutama saham-saham batu bara di Tanah Air.
Sebagai negara eksportir komoditas, Indonesia mendapat berkah dari tingginya harga batu bara dan CPO. Berkaca pada era komoditi boom sebelumnya, saat harga komoditas unggulan ekspor Tanah Air melesat ekonomi semakin bergeliat.
Masyarakat Indonesia pun ikut kena dampaknya. Harga komoditas naik memicu kenaikan pendapatan yang berimbas pada spending masyarakat yang terkerek.
Secara historis, masyarakat Indonesia akan cenderung membelanjakan uangnya ke barang-barang durable seperti mobil hingga aset tetap seperti properti. Saat ini sendiri, setelah saham-saham perbankan digital dan komoditas kenaikanya sudah mulai terbatas dan cenderung terkoreksi, saham-saham properti justru mulai menunjukkan tajinya.
Kondisi ini juga tak lepas dari kebijakan pemerintah yang memberikan insentif fiskal berupa relaksasi PPnBM, penurunan PPN untuk properti, tren penurunan suku bunga kredit hingga kelonggaran kebijakan makroprudensial oleh bank sentral.
Kondisi ini akan memicu investor melirik sektor properti. Seperti yang sudah diketahui bersama, sektor properti memiliki multiplier effect yang besar.
Maklum dalam membangun rumah butuh banyak bahan baku mulai dari batu bata, semen, besi dan bahan lain. Ini juga akan mengerek sektor konstruksi dan infrastruktur. Dua sektor strategis yang menjadi prioritas pemerintah saat ini.
Dengan adanya kenaikan permintaan terhadap properti, sektor lain yang diuntungkan adalah bank. Mengapa? Membeli properti akan sangat sulit dilakukan dengan uang tunai (cash), di sinilah bank berperan.
Lewat kredit kepemilikan rumah (KPR) bank selain dapat memfasilitasi kenaikan permintaan properti juga dapat menggenjot kinerja keuangannya lewat penyaluran kredit. Sehingga bank juga menjadi sektor yang diuntungkan dalam siklus selanjutnya di fase economic boom ini.
Sektor lain yang diuntungkan ketika fase economic boom adalah sektor manufaktur. Kontribusi sektor ini terhadap output perekonomian nasional mencapai seperlima.
Sektor manufaktur juga menyerap tenaga kerja yang besar. Selain permintaan terhadap properti yang membaik permintaan terhadap barang durable seperti kendaraan bermotor dan gadget elektronik juga ikut terdongkrak sehingga menggerakkan sektor manufaktur.
Namun yang namanya siklus, pasti ada naik turun dan polanya berulang. Ekonomi tidak bisa terus menerus pada kondisi ekspansif. Ada satu titik di mana ekspansi ekonomi akan diikuti dengan kenaikan inflasi.
Saat inflasi naik, bank sentral selaku otoritas moneter yang diberi mandat untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar akan mengambil kebijakan ketat lewat menaikkan suku bunga acuan.
Saat suku bunga acuan naik secara tidak langsung laju ekonomi sedikit direm agar tak kebablasan dan overheat. Namun jika dalam satu waktu resesi ekonomi kembali terjadi, maka investor akan cenderung bermain aman.
Para pemodal akan menempatkan uangnya di aset-aset minim risiko atau sektor defensif. Sebagai negara yang tulang punggungnya adalah konsumsi rumah tangga, maka sektor konsumen menjadi salah satu sektor defensif yang bakal diincar oleh investor.
Itulah tadi perilaku investor dan strateginya dalam mengarungi setiap siklus perekonomian. Sehingga dalam kondisi ekonomi seperti apapun, strategi rotasi sektoral digunakan agar dapat menjaga return portofolio tetap optimal.
(trp)