Haruskah Investor Saham Cemas soal Perang Dunia Ketiga?

Tim Riset, CNBC Indonesia
21 March 2022 13:40
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor saham global masih terus memantau perkembangan konflik Rusia-Ukraina yang telah berlangsung hampir sebulan. Selain itu, pelaku pasar juga akan terus memperhatikan langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) ke depan terkait kenaikan agresif suku bunga acuan.

Teranyar, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memperingatkan bahwa jika pembicaraan damai dengan pemimpin Rusia Vladimir Putin gagal, hal itu berpotensi memicu perang dunia ketiga (PD III).

"Jika upaya ini gagal, itu berarti ini adalah perang dunia ketiga," kata Zelensky dalam wawancara dengan Fareed Zakaria dari CNN yang ditayangkan Minggu pagi waktu AS (20/3), sebagaimana dikutip CNBC International.

Pejabat Ukraina dan Rusia sendiri telah beberapa kali bertemu untuk pembicaraan damai, tetapi gagal mencapai kesepakatan utama.

Sementara itu, Presiden AS Joe Biden berencana mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin Eropa Senin ini (21/3), seiring Ukraina menolak permintaan Rusia untuk menyerahkan kota pelabuhan Mariupol selatan yang sebelumnya telah terkepung.

Sebelumnya, melansir Bloomberg, Minggu (20/3), utusan utama China untuk Washington berjanji negaranya "akan melakukan segalanya" untuk meredakan perang di Ukraina, tetapi menolak untuk mengutuk serangan Rusia dan menyebut permintaan semacam itu "naif."

"Ada disinformasi tentang China yang memberikan bantuan militer ke Rusia," kata Duta Besar Qin Gang di "Face the Nation" CBS pada Minggu.

"China tidak mengirim "senjata dan amunisi ke pihak mana pun," lanjutnya, menyebut "kepentingan bersama" Beijing dengan Rusia sebagai "aset" yang dapat membantu pembicaraan damai tersebut.

"Mengutuk tidak menyelesaikan masalah," Qin bilang, "Saya akan terkejut jika Rusia akan mundur dengan kecaman."

Investor Menakar Langkah Agresif The Fed

Selain soal perang, pasar juga dibayangi rencana agresif kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), sepanjang tahun ini.

Asal tahu saja, pada Kamis pekan lalu (17/3), The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga seperempat poin persentase atau 25 basis poin menjadi 0,2-0,5%.

Kenaikan suku bunga tersebut juga mulus. Pada hari pengumuman, tidak ada gejolak di pasar finansial global, malah aset-aset berisiko mengalami penguatan padahal The Fed mengindikasikan akan agresif dalam menaikkan suku bunga tahun ini.

Tiga indeks saham utama bursa saham AS atawa Wall Street, misalnya, sukses menorehkan kinerja cemerlang selama sepekan kemarin.

Sepanjang pekan lalu, ketiga indeks utama saham Negeri Paman Sam tersebut mencatat kinerja terbaik sejak awal November 2020. Dow Jones melonjak 5,5%, S&P naik 6,2%, dan Nasdaq menguat 8,2%

"Setelah salah satu minggu terbaik dalam beberapa tahun, sekarang pertanyaannya adalah apakah saham dapat menahan kenaikan itu? Kabar baiknya adalah April secara historis merupakan salah satu bulan terbaik untuk saham, jadi kalender tetap positif untuk tren kenaikan," kata Ryan Detrick dari LPL Financial, dikutip CNBC International.

Sementara, Kepala Ekuitas, Derivatif, dan Strategi Kuantitatif di Evercore ISI Julian Emanuel bilang, setelah pengumuman suku bunga The Fed, saat ini investor di AS akan berfokus pada rilis laba perusahaan lagi.

"Bottom line ... perkiraan laba perusahaan sejak awal tahun telah meningkat," imbuh Julian.

Dengan kenaikan sebanyak tujuh kali, maka pada akhir tahun ini suku bunga akan berada di kisaran 1,75- 2%. The Fed akan melakukan enam kali lagi rapat kebijakan moneter pada 2022, artinya akan selalu ada kenaikan sebesar 25 basis poin di setiap pertemuan.

Agresifnya The Fed di tahun ini tidak lepas dari tingginya inflasi di Amerika Serikat. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Februari melesat 7,9% year-on-year (yoy) tertinggi sejak Januari 1982. Sementara yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dilaporkan tumbuh 6,4% (yoy) menjadi yang tertinggi sejak Agustus 1982.

Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed tumbuh 6,1% (yoy) di bulan Januari, dan inflasi inti PCE sebesar 5,2% (yoy) tertinggi sejak 1983.

Pada akhir tahun lalu, The Fed optimistis inflasi inti PCE di tahun ini akan turun menjadi 2,7% (yoy). Namun dalam angka tersebut kemudian direvisi naik menjadi 4,1% (yoy).

Selain mengerek suku bunga, The Fed juga berencana mengurangi nilai neracanya, hal ini bisa menyerap likuiditas lebih besar. Meski demikian, belum ada detail berapa besar nilai neraca yang akan dikurangi, Powell hanya mengindikasikan kebijakan tersebut akan dimulai pada Mei.

Kenaikan suku bunga sebanyak tujuh kali plus pengurangan nilai neraca menunjukkan The Fed super agresif dalam menormalisasi kebijakan moneter di tahun ini.

Meski saat ini belum menimbulkan gejolak, bukan berarti kebijakan The Fed tidak akan memberikan dampak yang besar ke depannya.

Dengan kata lain, para pelaku pasar tampaknya sejauh ini sudah mengantisipasi (priced-in) sentimen-sentimen utama yang ada. Barangkali, bakal jadi lain cerita kalau konflik antara Rusia dan Ukraina nantinya tak kunjung menemukan titik terang dan The Fed tiba-tiba membuat 'langkah kejutan' ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA



[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rusia-Ukraina Negosiasi, Bursa Eropa Dibuka Cerah!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular