Jeblok Lagi, Kurs Dolar Australia Sudah di Bawah Rp 10.400

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 March 2022 12:45
Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Australia kembali merosot melawan rupiah pada perdagangan Senin (14/3) hingga ke bawah Rp 10.400/SG$. Padahal di awal pekan lalu, mata uang Negeri Kanguru ini menyentuh Rp 10.700/AU$.

Melansir data Refinitiv, pada pukul 10:35 WIB, dolar Australia diperdagangkan di kisaran Rp10.386/AU$, melemah 0,37% di pasar spot.

Senin pekan lalu, dolar Australia sempat menembus ke atas Rp 10.700/US$ tetapi hanya sesaat saja sebelum berbalik turun dan menutup perdagangan di zona merah. Dalam 5 hari perdagangan, dolar Australia hanya mampu menguat sekali saja, dan dalam sepekan jeblok 1,67%.

Gubernur bank Sentral Australia, Philip Lowe yang menyatakan masih akan bersabar menaikkan suku bunga membuat dolar Australia berbalik arah. Inflasi yang sudah mencapai target dan perekonomian yang terus membaik plus ditopang kenaikan harga komoditas membuat pelaku pasar sebelumnya memperkirakan suku bunga akan dinaikkan di bulan Juni.

Meski sedang melemah, ke depannya dolar Australia berpeluang kembali naik, sebab harga bijih besi bisa naik tajam lagi di tahun ini. Bijih besi merupakan komoditas ekspor utama Australia, sehingga kenaikan harganya bisa mendongkrak pendapatan negara.

Bank of America (BofA) dalam sebuah catatan mengatakan pasar bijih besi di tahun ini kemungkinan akan mengalami defisit akibat perang Rusia dan Ukraina.

Rusia dan Ukraina memproduksi bijih besi sekitar 107 juta ton dan 77 juta ton dalam setahun, dan berkontribusi terhadap 8% dari total produksi global. Sementara itu, untuk ekspor kontribusinya 4% saja.

"Kontribusi Rusia dan Ukraina terhadap pasar global memang relatif kecil dibandingkan dua produsen besar yakni Australia dan Brasil. Tetapi, bukan berarti pasar bijih besi tidak akan mengalami disrupsi," tulis BofA dalam sebuah catatan yang dikutip mining.com, Kamis (10/3).

Memasuki tahun 2022 atau sebelum terjadinya perang, BofA memprediksi pasar bijih besi akan surplus sekitar 5 juta ton tahun ini. Tetapi, dengan terjadinya perang dan gangguan supply dari Rusia dan Ukraina, risiko defisit tentunya semakin besar. Hal ini bisa membuat harga bijih besi kembali menguat dan menguntungkan Australia.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Australia Tak Mampu Tembus Rp 10.700/AU$, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular