Duit Asing "Datang Tak Dijemput Pulang Tak Diantar", IHSG KO!
Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia dengan Ukraina masih menjadi faktor utama yang mempengaruhi pergerakan bursa saham global di pekan ini. Meski demikian, indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat melemah tipis 0,08% ke 6.922,602.
Pergerakan IHSG jauh lebih baik ketimbang bursa saham Asia lainnya. Indeks Shanghai Composite jeblok 4%, Kospi Korea Selatan turun nyaris 2%, kemudian bursa saham Malaysia juga merosot lebih dari 2,2%. Hanya indeks Straits Times Singapura yang mampu menguat 0,57%.
Aliran modal asing ke dalam negeri menjadi salah satu penopang pergerakan IHSG. Pada pekan lalu, bursa kebanggaan Tanah Air ini bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa 6.996,935. Pada pekan lalu investor asing tercatat melakukan net buy sebesar Rp 4,42 triliun.
Namun, aliran modal di pasar saham sifatnya sangat dinamis "datang tak dijemput pulang tak diantar". Sehingga risiko dana asing berbalik keluar tentunya juga tinggi yang bisa membuat IHSG tertekan.
Di pasar reguler pekan ini investor asing masih melakukan net buy sebesar Rp 1,3 triliun, tetapi di pasar nego dan tunai terjadi net sell nyaris Rp 12 triliun.
Dengan demikian, sepanjang tahun ini total net buy di pasar reguler sebesar Rp 28,9 triliun di pasar reguler, sementara jika digabungkan dengan pasar nego dan tunai totalnya menjadi Rp 17,44 triliun.
Perang Rusia dan Ukraina masih menjadi penekan bursa saham global. Pasukan Rusia yang dilaporkan semakin mendekati ibu kota Ukraina, Kyiv, membuat sentimen pelaku pasar memburuk sejak Kamis malam yang membuat bursa saham Eropa dan Amerika Serikat (AS) jeblok, bursa Asia pun menyusul hari ini.
CNBC International melaporkan salah satu pejabat di Pentagon menyebut jika pasukan Rusia sudah berada sekitar 15 kilometer dari Kyiv. Pejabat tersebut juga yakin Rusia berencana mengepung Kyiv.
Selain itu, data dari Amerika Serikat (AS) menunjukkan inflasi bulan Februari melesat 7,9% year-on-year (yoy) menyentuh level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, bahkan memperkirakan warga AS akan merasakan inflasi sangat tinggi dan membuat tidak nyaman.
"Saya pikir banyak ketidakpastian yang terkait dengan perang Rusia dengan Ukraina. Dan saya pikir itu akan mempertajam inflasi. Saya tidak mau membuat prediksi apa yang akan terjadi di semester II tahun ini. Kita kemungkinan akan melihat inflasi yang sangat tinggi dan tidak membuat nyaman," kata Yellen sebagaimana diwartakan CNBC International, Kamis (11/3).
Tingginya inflasi memang sudah diperkirakan oleh The Fed, tetapi jika berlangsung lama tentunya akan menjadi masalah, dan The Fed bisa bertindak sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.
Kemungkinan tersebut diungkapkan langsung oleh ketua The Fed, Jerome Powell.
"Kami akan berhati-hati saat mempelajari implikasi perang di Ukraina terhadap perekonomian. Kamu memiliki ekspektasi inflasi akan mencapai puncaknya kemudian turun di tahun ini. Jika inflasi malah semakin tinggi atau lebih persisten, kami akan bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih agresif dengan menaikkan suku bunga lebih dari 25 basis poin pada satu atau beberapa pertemuan," kata Powell.
Jika inflasi terus meninggi tentunya The Fed bisa semakin agresif dalam menaikkan suku bunga, yang biasanya berdampak negatif ke pasar saham.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)