
Bursa Asia Longsor, Hang Seng Ambruk Nyaris 4%

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup berjatuhan pada perdagangan Senin (7/3/2022), karena investor masih mengkhawatirkan konflik antara Rusia dengan Ukraina yang belum mereda hingga kini.
Indeks Nikkei Jepang ditutup ambles 2,94% ke level 25.221,41, Hang Seng Hong Kong ambruk 3,87% ke 21.057,63, Shanghai Composite China ambrol 2,17% ke 3.372,86, dan ASX 200 Australia merosot 1,02% ke 7.038,60.
Selanjutnya Straits Times Singapura tergelincir 1,21% ke level 3.187,82, KOSPI Korea Selatan anjlok 2,29% ke 2.651,31, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terkoreksi 0,86% ke posisi 6.869,066.
Dari China, data ekspor periode Januari-Februari lalu melambat karena efek dasar. Sentimen konflik Rusia-Ukraina juga turut mempengaruhi tingkat ekspor Negeri Panda karena ketidakpastian atas prospek perdagangan global yang kembali timbul.
Ekspor China dilaporkan turun menjadi 16,3% pada Januari-Februari tahun ini, dari sebelumnya pada periode Desember 2021 sebesar 20,9%. Meski menurun, tetapi data tersebut lebih baik dari ekspektasi analis dalam poling Tradingeconomics yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 15%.
Sedangkan impor China meningkat 15,5% pada Januari-Februari 2022, menurun dari periode Desember tahun lalu sebesar 19,5% dan lebih rendah dari perkiraan analis yang sebesar 16,5%.
Data aktivitas industri biasanya melambat pada periode liburan panjang karena para pekerja kembali ke kota asal mereka. Namun untuk tahun ketiga berturut-turut, banyak pekerja pabrik yang tidak pulang ke rumah karena kekhawatiran terhadap pandemi virus corona (Covid-19) yang membuat beberapa pabrik tetap beroperasi.
"Angka-angka ini mungkin akan diterima dengan baik, karena ekspor China masih cukup tinggi dan juga impor terus berlanjut," kata Louis Kuijs, kepala ekonom Asia-Pasifik di S&P Global Ratings, dikutip dari Reuters.
"Kita perlu melihat berapa lama dampak ekonomi dari krisis geopolitik Rusia-Ukraina akan berlangsung. Ekonomi China secara keseluruhan memang besar dan harus dapat terus tumbuh bahkan dalam menghadapi guncangan eksternal tetapi pertumbuhan ekspor akan terpengaruh," tambah Kuijs.
Investor di Asia-Pasifik hingga kini masih khawatir dengan sentimen dari konflik Rusia-Ukraina, di mana konflik kedua negara tersebut masih belum mereda, meski perundingan damai berupaya terus dilakukan.
Pada Jumat pagi pekan lalu, Ukraina melaporkan bahwa fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Zaporizhzhia mengalami kebakaran setelah serangan diluncurkan oleh tentara Rusia. Badan Nuklir Ukraina mengatakan pasukan militer Rusia telah mengambil alih fasilitas tersebut.
Merespons berbagai serangan yang dilancarkan oleh Rusia, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan tindakan Negeri Beruang Merah merupakan sebuah bentuk state terrorism dan dunia harus segera bereaksi menghentikan tindakan tersebut.
Saat serangan Rusia ke Ukraina terutama yang menyasar ke fasilitas nuklir milik negara yang bekas Uni Soviet itu terjadi, harga komoditas energi melonjak. Harga minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) keduanya tembus rekor tertinggi dalam 7 tahun di atas level US$ 110/barel.
Pada hari ini, harga kedua minyak mentah acuan tersebut nyaris menyentuh US$ 140/barel untuk pertama kalinya dalam 13 tahun terakhir. Tak hanya minyak saja, harga batu bara juga terbang tinggi ke atas US$ 400/ton yang menjadi rekor tertinggi sepanjang masa. Begitu juga dengan gas alam yang terus menanjak.
Selain sentimen dari konflik Rusia-Ukraina, investor global juga mengkhawatirkan dari inflasi global yang semakin meninggi, apalagi kenaikan inflasi global diperparah oleh dampak perang yang menyasar pada kenaikan harga komoditas energi.
Inflasi yang meninggi menjadi momok bagi AS saat ini. Jika inflasi terus meninggi, maka bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) dan bank sentral lainnya kemungkinan bisa lebih agresif dalam menaikkan suku bunga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
