
Rupiah Berisiko Gonjang-Ganjing, Modal Asing Cabut Dari RI?

Serangan Rusia ke Ukraina membuat harga komoditas meroket. Sektor energi yang paling menjadi sorotan.
Harga minyak mentah jenis Brent meroket menembus US$ 130/barel untuk pertama kalinya dalam 13 tahun terakhir. Harga batu bara terbang tinggi ke atas US$ 400/ton yang menjadi rekor tertinggi sepanjang masa. Begitu juga dengan gas alam yang terus menanjak.
Kenaikan harga komoditas energi tersebut tentunya berisiko mengakselerasi inflasi di negara Barat, yang sudah tinggi dan di beberapa negara lainnya.
Alhasil, perekonomian ekonomi global diperkirakan akan terpukul. Berdasarkan CNBC Rapid Update, yang melakukan survei terhadap 14 analis menunjukkan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan melambat menjadi 3,2% di tahun ini, dibandingkan proyeksi bulan Februari sebesar 3,5%.
Namun, para analis tersebut memperingatkan masih belum diketahui bagaimana respon perekonomian AS terhadap lonjakan harga minyak mentah.
Eropa diperkirakan akan lebih terpukul lagi. Barcalys memangkas produk domestik bruto (PDB) Benua Biru menjadi 3,5% dari sebelumnya 4,1%. JP Morgan bahkan memangkas proyeksinya hingga 1% menjadi 3,2%.
Dalam kondisi peningkatan volatilitas dan perekonomian global yang diprediksi merosot, mata uang safe haven seperti dolar AS, yen Jepang dan franc Swiss diperkirakan akan mengalami penguatan.
Sementara itu, hasil survei Reuters menunjukkan rubel Rusia diperkirakan akan jeblok di kisaran Rub 120/US$ hingga RUB 150/US$, dengan median RUB 125/US$. Jumat pekan lalu, rubel sudah menyentuh RUB 122/US$ yang merupakan rekor terlemah sepanjang masa.
Sementara lira Turki diprediksi bisa jeblok hingga 20% di tahun ini, sebab inflasi di Turki yang mencapai 54%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]