
Simak! Pekan Depan, Banyak Sentimen dari Domestik sampai AS

Rilis Data Ekonomi Luar Negeri
Dari luar negeri, pelaku pasar juga akan menyimak sejumlah data ekonomi negara utama.
Pada Senin (7/3), akan ada data neraca dagang China Januari-Februari 2022. Sehari berikutnya, Selasa (8/3),bakal ada rilis neraca dagang Amerika Serikat (AS) per Januari 2022.
Pada tengah pekan, Rabu (9/3), investor akan menyimak dua data penting, yakni tingkat inflasi China per Februari 2022 dan rilis data pembukaan lapangan kerja (JOLTS) di AS per Januari 2022.
Tingkat inflasi tahunan China diprediksi masih akan di posisi Januari 2022, yakni 0,9%. Posisi tersebut terendah setelah pada September 2021 mencapai 0,7%.
"Inflasi [China] yang lebih rendah mencerminkan permintaan domestik yang lemah," kata Zhiwei Zhang, Kepala Ekonom di Pinpoint Asset Management kepada Reuters, 16 Februari lalu.
"Kebijakan makro [China] telah berubah lebih mendukung tetapi butuh waktu agar dampaknya dapat ditransmisikan ke ekonomi," imbuhnya.
Selain data inflasi, pada Rabu (9/3) juga investor akan menyimak data pembukaan lapangan kerja AS. Data ini digunakan sebagai indikasi kesehatan sektor ketenagakerjaan Negeri Paman Sam.
Angka yang meningkat biasanya menunjukkan pertumbuhan ekonomi, dampaknya bisa membuat dolar menguat. Sebaliknya, permintaan yang lebih rendah dan PHK yang lebih tinggi, menandakan pertumbuhan ekonomi yang berkontraksi.
Menurut konsensus Tradingeconomics, angka pembukaan lapangan kerja Januari akan sama dengan bulan sebelumnya, yakni 10,925 juta.
Selanjutnya, pada Kamis (10/4), investor, terutama di daratan Eropa, akan menunggu keputusan tingkat suku bunga Uni Eropa.
Pada hari yang sama, Kamis (10/4), data yang paling ditunggu investor, tingkat inflasi AS per Februari 2022, akan dirilis.
Konsensus sepakat bahwa tingkat inflasi tahunan AS akan naik menjadi 7,9% dari sebelumnya 7,5%, bisa menjadi yang 'terpanas' sejak awal dekade 1980-an silam.
Inflasi yang meninggi menjadi momok bagi AS saat ini. Jika inflasi terus meninggi The Fed dan bank sentral lainnya kemungkinan bisa lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Di sisi lain, The Fed juga masih mempelajari implikasi perang di Ukraina terhadap perekonomian. Ini semata dilakukan Jerome Powel Cs untuk menakar kebijakan kenaikan suku bunga yang sejatinya bertujuan untuk mengerem inflasi AS yang meninggi.
Untuk saat ini, Powell mendukung kenaikan sebesar 25 basis poin di bulan ini. Namun, jika nantinya The Fed lebih agresif dalam menaikkan suku bunga, maka ada risiko pasar finansial global akan mengalami gejolak, termasuk Indonesia.
Terakhir, menjelang akhir pekan, Jumat (11/4), investor juga bakal mempelajari rilis data sentimen konsumen (pendahuluan) AS yang dirilis Universitas Michigan
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf)[Gambas:Video CNBC]