Data Pengangguran Dicuekin, Wall Street Merah Gegara Perang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
Sabtu, 05/03/2022 08:20 WIB
Foto: REUTERS/VIACHESLAV RATYNSKYI

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) melemah pada perdagangan kemarin. Data ketenagakerjaan yang solid tidak mampu menolong Wall Street.

Pada Sabtu (5/3/2022) dini hari waktu Indonesia, tiga indeks utama di bursa saham New York ditutup di zona merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,53%, S&P 500 minus 0,79%, dan Nasdaq Composite ambles 1,66%.

Padahal ada sentimen positif di perekonomian Negeri Adidaya. Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan penciptaan lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) sepanjang Februari 2022 mencapai 678.000, tertinggi sejak Juli 2021. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 400.000.


Sementara tingkat penganggutan AS pada Februari 2022 tercatat 3,8%. Ini adalah yang terendah sejak Februari 2020.

Data ini menggambarkan ekonomi Negeri Stars and Stripes semakin pulih dan bangkit dari pukulan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun sepertinya belum cukup untuk membuat pelaku pasar bergairah.

"Tiga atau empat minggu lalu, angka ini sangat penting. Namun dengan perkembangan di Eropa, sepertinya tidak lagi," keluh Zachary Hill, Head of Portfolio Management di Horizon Investments yang berbasis di California (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Ya, adalah perang Rusia vs Ukraina yang kini menjadi fokus utama investor. Serangan Rusia ke Ukraina jadi yang terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.

Pasukan Rusia berhasil mengusai pembangkit listrik bertenaga nuklir di Ukraina, yang menjadi yang terbesar di Eropa. Tentara Negeri Beruang Merah pun sudah mengepung kota Mariupol di sebelah tenggara Ukraina. Kepungan tentara Rusia membuat kota itu tidak lagi memiliki akses air bersih, listrik, dan makanan.

"Risiko eskalasi konflik, risiko dampak negatif ke pertumbuhan ekonomi Eropa, dan kemungkinan kenaikan harga komoditas yang menyebabkan tekanan inflasi telah menguras waktu dan tenaga pelaku pasar," tambah Hill.


(aji/aji)