Rusia Dilanda Rush Money, "Cash is The King" Muncul Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sanksi yang diberikan Amerika Serikat (AS) dan Negara Barat lainnya ke Rusia mulai menunjukkan dampaknya. Rusia mengalami rush money atau penarikan uang serentak oleh warganya.
Hal ini terjadi menyusul rencana AS dan sekutu mengeluarkan beberapa bank Rusia dari dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.
Kemudian bank sentral Rusia juga dibekukan cadangan devisanya di luar negeri. Cadangan devisa Rusia saat ini sebesar US$ 643 miliar, yang sebagian besar ditempatkan di bank sentral AS, Eropa dan China dengan estimasi sekitar US$ 492 miliar, melansir Forbes.
Pembekuan aset tersebut membuat bank sentral Rusia tidak bisa menggunakan cadangan devisanya, guna menstabilkan nilai tukar rubel. Alhasil, nilai tukar rubel sempat jeblok hingga lebih dari 30% di awal pekan ini, ke atas RUB 110/US$.
Jebloknya nilai tukar rubel tersebut memicu rush money sejak Senin, warga Rusia bahkan memborong valuta asing. Bloomberg melaporkan warga Rusia bahkan memborong dolar AS meski beberapa bank menjual dengan harga sekitar 30% lebih tinggi ketimbang posisi penutupan perdagangan Jumat pekan lalu.
Rush money tersebut dan aksi beli dolar AS membuat nilai tukar rubel kembali sempat jeblok lagi lebih dari 15% ke RUB 117/US$ yang lagi-lagi menjadi rekor terlemah sepanjang sejarah.
Sebelum Rusia melakukan serangan ke Ukraina pada Kamis (24//2) lalu, manager investasi di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang ternyata meningkatkan posisi uang tunai (cash) mereka dengan cukup signifikan.
Hasil survei yang dilakukan Reuters pada periode 14 - 28 Februari menunjukkan 35 manajer investasi menaikkan alokasi cash mereka menjadi 4,3%, menjadi yang tertinggi sejak Desember 2020. Mayoritas survei tersebut selesai dilakukan sebelum 24 Februari saat invasi Rusia dimulai.
Selain itu, pada manajer investasi tersebut menurunkan alokasi saham dalam portofolionya menjadi 49,5% dari sebelumnya 50,1%. Alokasi tersebut menjadi yang terendah sejak Mei 2021.
Menurut Reuters tingginya inflasi menjadi pemicu para manajer investasi mengambil sikap defensif dengan meningkatkan alokasi cash sebagai buffer.
Fenomena "penumpukan" cash pernah terjadi saat awal pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Saat itu hingga muncul istilah "Cash is The King", tetapi bukan sembarang cash, hanya dolar AS.
Hal tersebut setidaknya terlihat mulai terjadi di Rusia, di mana terjadi rush money dan warganya malah memborong dolar AS.
Indeks dolar AS pun pada perdagangan Selasa kemarin melesat 0,7% ke 97,4 yang merupakan level penutupan tertinggi sejak Juni 2020 lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article URAAAA!!! Rubel Rusia Jadi Mata Uang Terbaik Dunia
