Ekonomi AS Tumbuh 7% di 2021, Berkah atau Musibah Bagi RI?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 February 2022 15:15
Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)
Foto: Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Amerika Serikat (AS) menunjukkan pemulihan yang impresif di tahun 2021 lalu. Data dari pemerintah AS menunjukkan rilis kedua produk domestik bruto (PDB) kuartal IV-2021 direvis naik menjadi 7% dari rilis awal 6,9%.

Dengan revisi tersebut, sepanjang 2021 PDB Amerika Serikat tercatat melesat 5,7%, menjadi yang tertinggi sejak tahun 1984.

Bangkitnya negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut tentunya mengerek pertumbuhan ekonomi negara lainnya termasuk Indonesia. Sebab, Amerika Serikat merupakan pasar ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China.

Melesatnya PDB Amerika Serikat di tahun lalu membuat ekspor ke negara adidaya tersebut juga melonjak.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor ke Amerika Serikat melesat 38,4% di tahun 2021 dari tahun sebelumnya, dengan nilai US$ 25,77 miliar. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 11,75% dari total Ekspor Indonesia tahun lalu.

Besarnya nilai ekspor tersebut menunjukkan betapa pentingnya Amerika Serikat bagi perekonomian Indonesia. Ketika perenomiannya melesat, maka Indonesia juga akan ikut terkerek.

Tetapi di sisi lain, kuatnya pertumbuhan ekonomi AS memberikan risiko bagi pasar keuangan Indonesia.

Selain inflasi yang tinggi, kuatnya perekonomian AS menjadi alasan The Fed (bank sentral AS) untuk menormalisasi kebijakan moneternya dengan agresif di tahun ini.

The Fed akan mulai menaikkan suku bunga pada bulan depan, pasar masih menimbang-nimbang apakah aka nada kenaikan sebesar 25 basis poin atau 50 basis poin.

Pasar memang sudah menakar kemungkinan The Fed agresif dalam menaikkan suku bunga di tahun ini, bahkan dengan kemungkinan sebesar 125 basis poin hingga 150 basis poin.

Tetapi, jika perekonomian AS mampu mempertahankan momentum penguatan di awal tahun ini, bukan tidak mungkin The Fed bertindak lebih agresif lagi guna meredam kenaikan inflasi yang saat ini sebesar 7,5%, tertinggi dalam 4 dekade terakhir.

Hal ini yang bisa memberikan masalah bagi pasar finansial Indonesia. Kenaikan suku bunga secara agresif akan membuat yield Treasury (obligasi) AS melesat naik, yang bisa memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia.

Selain itu, dolar AS akan perkasa sehingga rupiah akan mendapat tekanan dari capital outflow serta penguatan dolar AS. Jika pelemahan tajam terjadi, maka akan memicu kenaikan inflasi, selain itu Bank Indonesia (BI) berpeluang mengerek suku bunga guna menstabilkan rupiah dan bisa meredam capital outflow.

Tetapi, kenaikan suku bunga tentunya bisa berdampak pada pelambatan ekonomi, suku bunga kredit yang tinggi bisa menghambat laju ekspansi perusahaan.

Artinya, inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga bisa memukul perekonomian Indonesia.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Fundamental Kuat, Aliran Modal Masih Masuk ke Dalam Negeri

Meski ada risiko yang dihadapi pasar finansial Indonesia, tetapi sejauh ini masih cukup kuat, bahkan aliran modal malah masuk ke dalam negeri.

Di pasar saham, investor asing kemarin tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) senilai Rp 821 miliar di pasar reguler. Ditambah pasar nego dan tunai totalnya menjadi Rp 881 miliar. Sebelumnya net buy juga tercatat sekitar Rp 2,3 triliun dalam 3 hari di pekan ini, dan dalam 2 minggu sebelumnya Rp 10 triliun. Sepanjang tahun ini net buy tercatat lebih dari Rp 22 triliun.

Di pasar obligasi juga sama. capital inflow di pasar obligasi terlihat dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, di mana sepanjang bulan ini hingga 18 Februari aliran modal asing masuk ke pasar obligasi cukup besar, hampir Rp 14,5 triliun.

Capital inflow tersebut sekaligus membalikkan outflow sekitar Rp 4 triliun yang terjadi pada bulan Januari lalu. Dengan demikian sepanjang tahun ini (year-to-date) hingga 18 Februari lalu terjadi inflow lebih dari Rp 10 triliun di pasar obligasi.

Fundamental perekonomian Indonesia yang semakin membaik bisa jadi membuat investor asing terus mengalirkan modalnya ke Indonesia. Tidak seperti negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) begitu juga negara-negara di Eropa, inflasi di Indonesia masih rendah.

Di bulan Januari, inflasi di Indonesia dilaporkan tumbuh 2,18% year-on-year (yoy), bandingkan dengan Amerika Serikat yang sebesar 7,5% (yoy).

Selain itu, ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.

Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.

Dengan surplus tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah akan lebih terjaga yang bisa memberikan kenyamanan investor asing berinvestasi di dalam negeri. Kerugian akibat fluktuasi kurs bisa diminimalisir, begitu juga rendahnya inflasi.

Di tahun ini, transaksi berjalan memang diperkirakan akan kembali defisit, tetapi tidak akan sebesar sebelumnya.

Kemudian, pemerintah juga sudah menegaskan tidak akan lagi melakukan pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sehingga roda perekonomian bisa berjalan lebih kencang.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Siap Naikkan Suku Bunga Acuan 3 Kali di 2022

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular