Biden-Putin Bikin Kurs Dolar Singapura Jeblok Lagi!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Jumat, 25/02/2022 11:25 WIB
Foto: Dolar Singapura (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura merosot dua hari beruntun melawan rupiah pada Kamis kemarin dan masih berlanjut pada perdagangan Jumat (25/2). Perang di Ukraina yang kemungkinan tidak akan membesar membuat sentimen pelaku pasar membaik dan membuat rupiah kembali menguat.

Melansir data Refinitiv, dolar Singapura pagi ini sebenarnya sempat menguat ke Rp 10.630/SG$, tetapi setelahnya berbalik melemah tipis 0,08% ke Rp 10.599/SG$. Kemarin mata uang Negeri Merlion ini merosot 0,34% dan 0,27% sehari sebelumnya.

Pelaku pasar saat ini mulai lega sebab Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden tidak menggunakan tindakan militer merespon invasi Rusia ke Ukraina.


Dalam pidatonya kemarin, Biden memberikan sanksi ekonomi ke Rusia.

"Hari ini saya mengizinkan sanksi tambahan yang lebih kuat, dan pembatasan apa saja yang bisa diekspor ke Rusia. Ini akan membebani ekonomi Rusia secara langsung dan dari waktu ke waktu," kata Biden sebagaimana diwartakan CNBC International.

Selain itu, Biden juga mengizinkan penambahan pasukan NATO untuk siaga di Jerman guna memperkuat pertahanan Eropa.

Sementara itu Presiden Vladimir Putin mengatakan Rusia tidak akan merusak perekonomian dunia.

"Rusia masih merupakan bagian dari perekonomian dunia. Kami tidak akan membahayakan sistem perekonomian dunia selama kami menjadi bagian di dalamnya," kata Putin.

Pernyataan kedua pimpinan negara dengan kekuatan militer terbesar ini membuat pasar lega, perang besar kemungkinan tidak terjadi, dan aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi kembali diburu.

Sementara itu inflasi di Singapura yang mulai melandai membuat tekanan ke Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) untuk kembali mengetatkan kebijakan moneter berkurang. Hal ini membuat dolar Singapura melemah dua hari terakhir.

Rabu lalu Kementrian Perdagangan dan Industri Singapura (MIT) bersama MAS melaporkan inflasi di bulan Januari tumbuh 4% secara tahunan (year-on-year/yoy), pertumbuhan tersebut sama dengan bulan Desember 2021, yang merupakan level tertinggi sejak Februari 2013. Rilis tersebut juga lebih rendah dari memprediksi para ekonom 4,2% (yoy), artinya sudah ada tanda-tanda melandai.

Secara bulanan indeks harga konsumen ini stagnan 0%.

Sementara itu inflasi inti yang tidak memasukkan sektor akomodasi dan transportasi, tumbuh 2,4% (yoy) yang merupakan level tertinggi sejak September 2012.

Inflasi inti tersebut lebih tinggi dari bulan Desember 2021 sebesar 2,1% (yoy). Namun, masih lebih rendah dari ekspektasi ekonom sebesar 2,5% (yoy).

Sebelumnya inflasi yang tinggi membuat MAS sedikit mengetatkan kebijakan moneternya bulan Januari lalu. Hal tersebut menjadi kejutan bagi pasar, sebab sebelumnya diprediksi pengetatan akan terjadi di bulan April.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor