Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah akhirnya kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (18/2) setelah terpuruk Kamis kemarin. Meski demikian, dalam sepekan rupiah masih mampu mencatat penguatan 0,17% setelah menguat 3 hari beruntun sebelumnya.
Rupiah sebenarnya membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.315/US$. Tetapi tidak lama rupiah langsung dan tidak pernah mampu masuk ke zona hijau. Rupiah sempat melemah hingga 0,24% sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.325/US$ atau melemah tipis saja 0,07%.
Rupiah tidak sendirian, beberapa mata uang utama Asia juga melemah pada perdagangan hari ini. Hingga pukul 15:17 WIB, yen Jepang menjadi yang terburuk, disusul baht Thailand dan rupiah di urutan ketiga.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Rupiah mampu memangkas pelemahan pada hari ini setelah rilis data Neraca Perdagangan Indonesia (NPI).
Bank Indonesia (BI) melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus begitu juga dengan transaksi berjalan (current account) yang sebelumnya selalu defisit dalam satu dekade terakhir.
"Perkembangan NPI secara keseluruhan tahun 2021 mencatat surplus tinggi, sehingga ketahanan sektor eksternal tetap terjaga. Surplus NPI tahun 2021 tercatat sebesar 13,5 miliar dolar AS, jauh meningkat dibandingkan capaian surplus pada tahun sebelumnya sebesar 2,6 miliar dolar AS," tulis BI dalam keterangan resminya, Jumat (18/2).
Pos transaksi berjalan mencatat surplus US$ 3,3 miliar atau 0,3% dari produk domestik bruto (PDB) sepanjang 2021. Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.
Jika dilihat secara kuartalan, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 1,4 milar (0,4% dari PDB) di kuartal IV-2021, lebih dari dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.
Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos NPI lainnya, yakni transaksi modal dan finansial.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Amerika Serikat - Rusia Panas, Rupiah Kena Imbas
Isu kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) masih menjadi perhatian. Presiden The Fed St. Louis, James Bullard kemarin sekali lagi menegaskan perlu tindakan yang cepat agar mampu mengendalikan inflasi.
"Risiko (inflasi) yang kita hadapi saat ini lebih besar dari generasi sebelumnya dan ini bisa tak terkendali. Satu skenario yang mungkin terjadi... satu kejutan yang akan tidak kita antisipasi saat ini, kemungkinan inflasi lebih tinggi. Situasi seperti itu yang kami ingin pastikan tidak terjadi," kata Bullard saat berbicara di Columbia University, sebagaimana diwartakan CNBC International.
Bullard sebelumnya menegaskan akan mendukung kenaikan suku bunga hingga 1% d di bulan Juli, artinya suku bunga perlu dinaikkan 50 basis poin di bulan Maret, dan masing-masing 25 basis poin di Mei dan Juni, sesuai jadwal pertemuan The Fed.
Meski demikian pasar melihat berbeda. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas sebesar 100% The Fed akan menaikakn suku bunga 25 basis poin pada bulan depan. Probabilitas kenaikan sebesar 50 basis poin yang pada pekan lalu sekitar 90% kini menjadi nol.
Namun, tekanan bagi rupiah masih akan cukup besar pada sentimen pelaku pasar kembali memburuk akibat tensi geopolitik di Eropa Timur kembali memanas karena Rusia mengusir Wakil Duta Besar AS Bartle Gorman.
Selain itu, Washington juga masih meyakini bahwa Moskow akan segera menyerang Ukraina dalam beberapa hari ke depan. Sekarang negara yang dipimpin oleh Presiden Vladimir Putin itu tinggal mencari alasan yang tepat untuk itu.
Kemarin pagi, meletus kontak senjata antara tentara Ukraina dengan kelompok separatis pro-Rusia. Konflik Ukraina dengan kelompok ini sudah terjadi bertahun-tahun, tetapi sangat mungkin dijadikan salah satu alasan oleh Rusia untuk masuk ke Ukraina. Mendamaikan situasi.
"Kami meyakini bahwa mereka (Rusia) akan segera melakukan operasi jika sudah ada alasan. Setiap laporan yang kami miliki adalah mereka bersiap pergi ke Ukraina dan menyerang Ukraina. Perasaan saya ini akan terjadi dalam beberapa hari ke depan," tegas Joseph 'Joe' Biden, Presiden AS, seperti dikutip dari Reuters.
Sebaliknya, Kremlin menilai AS malah menjadi pihak yang memanaskan situasi dan memperuncing konflik. AS juga tidak menghiraukan kepentingan keamanan Rusia (yang tidak sudi Ukraina bergabung ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara).
TIM RISET CNBC INDONESIA