Eks Komisaris KRAS: DPR Harusnya Bijak Dalam Berbicara
Jakarta, CNBC Indonesia - Pernyataan maling teriak maling yang dilontarkan Anggota Komisi VII DPR, Bambang Haryadi saat rapat dengan Direktur Utama PT Karakatau Steel Tbk (KRAS) memicu reaksi beragam.
Salah satunya datang dari mantan Komisaris Krakatau Steel, Roy Maningkas. Menurutnya, apa yang dilontarkan Bambang sebagai anggota dewan tidaklah elok. Sebab, proyek pabrik baja tanur tiup (blast furnace) itu sudah terjadi jauh sebelum era Silmy menjabat, yakni pada periode 2012-2013. Sedangkan, Silmy baru didapuk menjadi pucuk pimpinan pada 2018 lalu.
Justru, menurutnya sudah banyak transformasi yang dilakukan emiten produsen baja dengan kode saham KRAS tersebut di bawah komando Silmy Karim.
"Bambang Haryadi itu hanya tahu sedikit soal transformasi KS apa perubahan dan pencapaian yang dicapai oleh manajemen Krakatau Steel 3 tahun belakangan yang dari 8 tahunan rugi sekarang sudah 2 tahun terakhir profit. Sebagai anggota dewan, harusnya bijak bicara jangan asal bicara," kata Roy Maningkas, kepada CNBC Indonesia, Senin (14/2/2022).
Pernyataan itu, kata Roy, selain tidak etis tapi juga melakukan pencemaran nama baik pada orang-orang yang sudah bekerja keras memperbaiki kinerja keuangan KRAS.
Pada masa Roy menjadi Komisaris, sejatinya upaya menghentikan proyek sudah diusulkan, karena bila dilanjutkan, proyek blast furnice berpotensi menyebabkan perusahaan merugi Rp 1,1 triliun sampai dengan Rp 1,2 triliun setiap tahunnya. Namun, pada masa itu, proyek ini terus dibiarkan berjalan.
"Pak Silmy masuk sudah jadi, justru itu yang saya dan komisaris minta jangan berproduksi, justru manajemen sekarang cuci piring kok malah bilang maling teriak maling," kata Roy.
Dia menambahkan, proyek tersebut awalnya hanya menelan anggaran investasi senilai Rp 6 triliun, tapi kemudian membengkak menjadi Rp 10 triliun.
Menteri BUMN, Erick Thohir menyebut Krakatau Steel berpotensi mengalami kebangkrutan pada Desember tahun ini jika tidak melakukan sejumlah langkah restrukturisasi.
"Ada tiga langkah (restrukturisasi), problem-nya langkah ketiga ini macet," kata Erik dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Kamis lalu, dikutip Sabtu (4/12/2021).
Erick menuturkan, ada investasi Krakatau Steel dalam pembuatan pabrik blast furnace senilai US$ 850 juta pada 2008 lalu, namun kondisinya mangkrak, dan tidak memberikan manfaat. Sempat ada harapan proyek ini diambil alih China namun gagal.
Lalu langkah kedua yang sedang diambil mengenai negosiasi kerja dengan salah satu perusahaan baja Posco sebagai pemilik saham terbesar KRAS (kode emiten Krakatau Steel), dengan porsi 70%.
Langkah terakhir adalah kemungkinan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) untuk berinvestasi di Krakatau Steel. Erick menjelaskan jika ketiga langkah ini tidak berjalan maka Krakatau Steel pada bulan Desember ini bisa default.
(sys)