Duh... Para Spekulator Makin Getol Jual Rupiah nih!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 February 2022 16:18
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah cukup perkasa melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pekan ini, bahkan sepanjang tahun ini masih cukup stabil meski tekanan sedang besar dari eksternal. Namun, spekulator sepertinya masih belum melirik rupiah, malah justru menambah posisi jualnya.

Hal ini terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

idr

Survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (10/2) menunjukkan angka untuk rupiah di 0,54, membaik dari dua pekan lalu 0,12. Jika dilihat dalam 5 survei terakhir para spekulator masing konsisten mengambil posisi jual meski terus mengalami naik turun.

Dari 9 mata uang Asia yang disurvei, spekulator mengambil posisi jual terhadap 9 mata uang. Hanya yuan China, dolar Taiwan dan baht Thailand yang mendapat posisi beli.

Survei ini konsisten dengan pergerakan rupiah, sehingga ke depannya rupiah masih akan tertekan. Namun, hal tersebut terbilang wajar sebab bank sentral AS (The Fed) akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini.

Malah, jika melihat agresivitas The Fed, pergerakan rupiah bisa dikatakan masih cukup bagus. Pelemahannya sepanjang tahun ini kurang dari 1%.

Dolar AS pun diprediksi tidak akan melenggang begitu saja.

Pasca pengumuman kebijakan moneter akhir The Fed Januari lalu, pasar sudah menakar suku bunga akan dinaikkan hingga 125 basis poin di tahun ini. Spekulasi berhembus The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, 50 basis poin pada bulan Maret, dan tiga kali lagi sisanya masing-masing sebesar 25 basis poin.

Hal tersebut terlihat dari survei yang dilakukan Reuters pada periode 31 Januari - 2 Februari terhadap analis mata uang.

Survei tersebut juga menunjukkan dolar AS masih akan mendominasi hingga 6 bulan ke depan, tetapi tidak akan menguat jauh dari level saat ini. Selain itu, median dari 24 analis menunjukkan agar dolar AS menguat tajam perlu ada tambahan kenaikan sebesar 62,5 basis poin.

Artinya total The Fed perlu menaikkan suku bunga sebesar 187,5 basis poin agar dolar AS bisa menguat tajam.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Meski Melemah, Rupiah Masih Akan Cukup Stabil

Tidak hanya pelaku pasar, Bank Indonesia (BI) juga sudah memprediksi The Fed akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini.

"Kami masih mempertahankan prrediksi The Fed Tahun ini akan menaikkan 4 kali masing-masing 25 basis poin, mulai Maret kemungkinan 25 basis poin atau 50 basis poin," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur, Kamis (10/1).

Dengan demikian, BI tentunya sudah menyiapkan amunisi untuk menstabilkan rupiah.

Secara fundamental rupiah memang cukup bagus. Transaksi berjalan (current account) Indonesia tercatat surplus US$ 4,5 miliar di kuartal III-2021 atau 1,5% dari produk domestik bruto (PDB). Surplus tersebut diperkirakan masih akan bertahan di kuartal IV-2021 meski nilainya mengecil.

Surplus transaksi berjalan menjadi modal yang kuat bagi rupiah, sebab arus devisa yang mengalir ke pos ini lebih stabil ketimbang pos transaksi modal dan finansial.

Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia kini berada di bawah 20%, berbeda jauh ketimbang 2013 yang di atas 40%. Sehingga jika terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar.

BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup besar. Selasa lalu, BI melaporkan cadangan devisa per akhir Januari 2022 sebesar US$ 141,3 miliar. Turun US$ 3,6 miliar dari bulan sebelumnya.

Cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Kenaikan suku bunga di AS memang akan mendorong aliran modal keluar (outflow) dari Indonesia. Hal ini bisa menyebabkan pelemahan dari nilai tukar rupiah.

"Menyempitnya selisih yield obligasi pemerintah AS dengan Indonesia akan mendorong terjadinya outflow," kata Ekonom Senior Chatib Basri dalam acara Mandiri Investment Forum beberapa hari lalu.

Namun Chatib mengatakan tidak perlu khawatir karena kondisinya berbeda dengan 2013.

"BI lebih siap, seiring dengan cadangan devisa yang besar dan juga segenap instrumen intervensi moneter yang lebih variatif. Sehingga tidak terlalu banyak kekhawatiran soal kenaikan suku bunga AS," tutur Chatib.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, Indonesia akan menjadi sasaran investor, baik yang bersifat langsung maupun lewat portfolio.

"Indonesia masih menjadi negara yang atraktif di dunia bagi investor. Bukan karena paling berhasil tapi karena negara lain punya masalah lebih berat," terangnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular